Dengan sepeda mini putih milik Abang, saya berkelana menjelajahi desa kelahiran Ibu di Bantul. Sepeda itu mendadak menjadi milik saya ketika Abang tak singgah di rumah Simbah. Jadi saya bisa menggunakannya sepuas hati. Turun ke jalan, masuk ke kebun, bahkan berkeliling hingga pusing di dalam pendopo rumah Simbah yang luasnya dua kali lapangan basket. Kira-kira seperti itu potongan ingatan saya ketika bersepeda di Bantul semasa kecil dulu.
Kini saya kembali bersepeda di desa Ibu. Kali ini tentu tidak ditemani oleh si putih karena ukurannya yang tak cocok lagi dengan tubuh saya. Selain itu saya tak pernah melihatnya. Mungkin ia hilang atau sudah dirosokkan. Saya meminjam sepeda milik sepupu. Kembali menjelajahi desa dengan penduduk yang mulai mengotakan lingkungannya.
Kesempatan bersepeda itu datang dari seorang teman baru, Mbak Dori. Mbak Dori merupakan teman dekat Mbak Mel yang menjadi rekan saya di Si Woles. Ia datang dari jauh untuk melihat sawah dengan sepeda. Terserah sawah di mana saja yang penting masih masuk wilayah Jogja. Permintaan sederhana yang sangat keterlaluan jika tak bisa Mbak Mel dan saya penuhi.
Kini saya kembali bersepeda di desa Ibu. Kali ini tentu tidak ditemani oleh si putih karena ukurannya yang tak cocok lagi dengan tubuh saya. Selain itu saya tak pernah melihatnya. Mungkin ia hilang atau sudah dirosokkan. Saya meminjam sepeda milik sepupu. Kembali menjelajahi desa dengan penduduk yang mulai mengotakan lingkungannya.
Kesempatan bersepeda itu datang dari seorang teman baru, Mbak Dori. Mbak Dori merupakan teman dekat Mbak Mel yang menjadi rekan saya di Si Woles. Ia datang dari jauh untuk melihat sawah dengan sepeda. Terserah sawah di mana saja yang penting masih masuk wilayah Jogja. Permintaan sederhana yang sangat keterlaluan jika tak bisa Mbak Mel dan saya penuhi.
Maka kami pun mengajak Ruci turut serta. Memang hanya Ruci karena sepeda yang lain tak bisa dilipat untuk dibawa ke Bantul. Dengan begitu Ruci menambah jam terbang jelajah setelah sebelumnya menemani perjalanan saya menyusuri Selokan Mataram arah barat.
Saya sengaja tak ikut campur dalam menentukan rute. Tak tebersit keinginan untuk mengajak Mbak Mel dan Mbak Dori untuk menapaktilasi rute bersepeda saya semasa kecil. Semua saya serahkan kepada mereka untuk memilihnya. Karena perjalanan bersepeda kali ini ialah perjalanan ala Si Woles J
Kami bersepeda ke barat, menuju pusat cinderamata Kasongan. Namun kami tak menuju jalan utama tempat toko-toko cinderamata berada. Kami justru melipir mencicipi jalan-jalan makadam dengan beberapa rumah penduduk dan sawah di kanan dan kirinya.
Mulanya kami melewati rumah penduduk dengan aktivitas di halaman depan. Mereka sedang menyelesaikan dekorasi tembikar menggunakan ornamen berbahan kayu kelapa. Sebuah bentuk baru yang saya jumpai. Ornamen itu berbentuk bunga yang kemudian ditempelkan di badan tembikar.
Sempat juga kami melewati rumah dengan penghuni yang sedang mengaso di terasnya. Mereka sangat ramah membalas salam kami. Sebuah kehangatan yang mulai langka dijumpai di Jogja.
Mbak Dori yang memimpin perjalanan memotong jalan aspal dan masuk ke jalan kecil di antara sawah. Terik matahari begitu terasa di sini. Tak ada pepohonan yang menaungi. Untungnya kiriman angin yang datang sesekali mampu sedikit menepis panasnya cuaca siang itu.
Kami bersepeda ke barat, menuju pusat cinderamata Kasongan. Namun kami tak menuju jalan utama tempat toko-toko cinderamata berada. Kami justru melipir mencicipi jalan-jalan makadam dengan beberapa rumah penduduk dan sawah di kanan dan kirinya.
Mulanya kami melewati rumah penduduk dengan aktivitas di halaman depan. Mereka sedang menyelesaikan dekorasi tembikar menggunakan ornamen berbahan kayu kelapa. Sebuah bentuk baru yang saya jumpai. Ornamen itu berbentuk bunga yang kemudian ditempelkan di badan tembikar.
Sempat juga kami melewati rumah dengan penghuni yang sedang mengaso di terasnya. Mereka sangat ramah membalas salam kami. Sebuah kehangatan yang mulai langka dijumpai di Jogja.
Mbak Dori yang memimpin perjalanan memotong jalan aspal dan masuk ke jalan kecil di antara sawah. Terik matahari begitu terasa di sini. Tak ada pepohonan yang menaungi. Untungnya kiriman angin yang datang sesekali mampu sedikit menepis panasnya cuaca siang itu.
Tak ada tujuan khusus di sawah ini. Mbak Dori hanya memilih tempat untuk mengabadikan momen. Saya sok yakin bahwa itu menjadi salah satu momen berharganya. Dia dipotret bersama sepeda di tengah hamparan sawah berlatar perbukitan. Amboi.
Pemotretan tak berlangsung lama. Mbak Dori kembali memimpin jalan. Kali ini menuju jalan pulang. Ia mengincar tempat duduk di tepi jalan di dekat rumah Bude. Tempat duduk itu disusun dari bambu. Jika leyeh-leyeh di sana maka hijaunya sawah terhampar di depan mata. Sesekali motor berkecepaan tinggi yang dikendarai anak-anak, anak muda, atau bapak-bapak melintas. Banyak juga anak-anak sekolah yang menggowes sepedanya. Ah, menyenangkan.
Saya memilih berbaring hingga terlelap. Sementara itu Mbak Dori bercakap-cakap dengan Mbak Mel. Tak berapa lama saya dibangunkan untuk pulang. Singkat sekali perjalanan bersepeda kali ini.
Bersepeda santai tanpa rentetan jadwal acara seperti itu ternyata mengasyikkan juga. Yang ingin mencoba gaya bersepeda seperti ini haruslah terbebas dari segala macam ambisi. Ambisi tentang rute, titik tujuan, penggalian informasi, dan kuliner sepertinya harus ditiadakan sejenak. Yang terpenting itu saya dan sepedanya. Saya bisa mengayuh sepeda sebebas-bebasnya. Saya beristirahat, bercakap-cakap, dan bersantap jika ingin. (Inu)
Bersepeda santai tanpa rentetan jadwal acara seperti itu ternyata mengasyikkan juga. Yang ingin mencoba gaya bersepeda seperti ini haruslah terbebas dari segala macam ambisi. Ambisi tentang rute, titik tujuan, penggalian informasi, dan kuliner sepertinya harus ditiadakan sejenak. Yang terpenting itu saya dan sepedanya. Saya bisa mengayuh sepeda sebebas-bebasnya. Saya beristirahat, bercakap-cakap, dan bersantap jika ingin. (Inu)