Pernah terbersit niat untuk gowes dari Yogyakarta ke Borobudur. Namun tak kunjung terlaksana. Hingga suatu hari kami diajak -atau ditantang :)- oleh Mbak Heather dan Paul untuk berkunjung ke Borobudur dengan sepeda. Kami memilih rute Selokan Mataram arah barat, mblusuk di Kulon Progo, hingga menjejakkan ban-ban sepeda kami di Desa Candi Rejo sebelum memasuki Dusun Maitan, Desa Borobudur. Perjalanan melelahkan namun menyenangkan ini kami tempuh sekitar 6 jam dengan berkali-kali istirahat. Kami beristirahat di mana saja hanya untuk mengumpulkan tenaga atau mengudap bekal makan. Rasanya bahagia sekali ketika sampai di rumah warga Dusun Maitan. Kami akan menginap di sini selama menjelajah Borobudur. Niatnya hanya untuk semalam saja. Namun, Mbak Heather dan Paul tertarik untuk memperpanjang tinggal di dusun. [Dokumentasi perjalanan 20 Maret 2014] Kali ini (17/3) kami berkesempatan menemani Mate & tunangannya, Anne, dari Hungaria, untuk menyusuri Poros Imajiner Yogyakarta. Bersepeda ke pusat Kerajaan Mataram Islam yang pertama di Kotagede bersama Lani dan Diego. [5 Februari] Senin [27/01] pagi kami berkesempatan untuk menemani Mbak Heather menyusuri jejak sejarah Kota Yogyakarta. Berbeda dengan turis pada umumnya, Mbak Heather memilih petualangan yang lebih menantang. Dengan kapal cargo ia menuju Singapura. Lalu menyeberang ke Batam dengan feri. Selanjutnya mencapai Tanjung Priok dengan menggunakan kapal Pelni. Hingga akhirnya tiba di Stasiun Tugu Yogyakarta. Selama di Yogya, Mbak Heather mengambil kursus bahasa Indonesia. Untuk itu ia minta ditemani oleh Si Lili, salah satu armada Si Woles. Dan kemudian ia tertarik untuk mengikuti wisata poros imajiner Yogyakarta. Pada Kamis y.l (19 Des 2013), kami mendapatkan tamu seorang ibu berkebangsaan Yunani. Di masa mudanya beliau adalah seorang penari balet, dan sekarang ia memiliki sekolah tari di mana ia menjadi salah satu pengajarnya. Walau sudah cukup sepuh (67 thn), namun sangat enerjik dan berjiwa muda. Kami senang mendapatkan tamu seperti beliau, yang sepertinya selalu menyebarkan energi positif ke sekitarnya :-) Kehadirannya juga mengingatkan kami akan Ibu kami yang nun jauh di sana :( Waktu: Kapan saja
Durasi, jarak, tingkat kesulitan & biaya yang dapat disesuaikan Apakah Anda tertarik ikut wisata sepeda tetapi pilihan-pilihan yang ditawarkan Si Woles tidak sesuai dengan minat Anda? Atau Anda ingin sesuatu yang sama sekali berbeda? Jangan kuatir! Kita dapat menyesuaikan wisata di atas atau merancang tur dengan pilihan tujuan berdasarkan minat Anda. Untuk memesan, hubungi kami setidaknya 7 hari sebelumnya. Kita dapat berdiskusi dan menentukan titik tujuan dan rute yang paling sesuai dengan minat Anda. Mbak Aulia -dari Banjarmasin- menjadi peserta trip "Poros Imajiner Yogyakarta" yang pertama :) Ini merupakan kunjungan kali pertamanya ke Yogyakarta. Meskipun terbilang singkat, hanya dua hari, Mbak Aulia tertarik untuk bersepeda sambil mengenali beberapa tinggalan bersejarah yang ada di Yogyakarta. Maka kami mengusulkan untuk menjajal rute "Poros Imajiner Yogyakarta". Kami pun merunut poros simbolik filosofis Yogyakarta dengan gowes santai ala Si Woles :D -30 November 2013- Hampir 20 km perjalanan hari ini kami tempuh dengan bersepeda. Menyusuri pusat berkumpulnya turis-turis di selatan hingga tempat praktik atau klinik dokter kopi di tengah “hutan” jati di utara. Resto Milas “Waduh, berarti dari kecil aku udah makan racun donk. Lha minumnya susu bubuk,” ujar saya sembari membaca brosur tentang Susu Sapi Murni buatan Javaraya Milk. Brosur itu didapatkan Mbak Mel dari Pasar Organik Milas yang berada di bagian muka restoran Milas. Setiap Rabu dan Sabtu pk. 09.00 – 12.00, Restoran Milas, yang berlokasi di Jl. Prawirotaman 4, menyediakan ruang untuk para produsen dan penjual produk-produk pangan lokal & organik. Beragam produk dijajakan, mulai dari yang mentah hingga olahan. Ada sayur mayur, getuk, selai, susu pasteurisasi, yoghurt, keripik, jamu, madu, dan masih banyak lagi. Saya terlambat datang saat itu. Mbak Mel, Mbak Olip, dan Mbak Lany sudah menggenjot sepeda lebih dulu. Mereka menghabiskan cukup banyak waktu berbincang-bincang dengan para penjual di pasar organik Milas. Sementara saya kebagian mencicipi getuk enak yang kebetulan dibagikan gratis karena pasar sudah tutup. Tak terasa waktu sudah menunjukkan jam 1 lewat. Artinya, Resto Milas sudah bisa disambangi untuk kami rehat duduk-duduk sambil menikmati makan siang. Kebetulan saat itu, para penjaja 'pasar' tampak bersiap untuk pulang. Di dalam Milas, kami memilih bersantai di bawah pohon dengan mebel berupa kursi dari ban bekas & meja bundar yang terbilang mini -untuk menampung pesanan dari empat orang-. Pengalaman berkunjung ke pasar organik Milas untuk pertama kalinya menjadi salah satu topik utama pembicaraan. Meskipun menetap di Jogja sudah hampir sembilan tahun, tapi tak menjadikan saya kenal dengan Jogja. Buktinya pasar organik Milas ini keberadaannya baru saya ketahui belakangan ini. Ternyata sebuah pasar yang sangat menarik. Ada banyak informasi yang bisa membantu menentukan pilihan konsumsi untuk hidup yang lebih sehat dan punya keberpihakan. Potongan kecil roti isi “daging” tempe dengan sayur mendarat di mulut saya. Saya mengunyah pelan untuk mengidentifikasi jenis rasa yang dikenali oleh indera pengecap saya. “Daging” tempenya terasa tapi terlalu datar di lidah Sumatera saya. Tak ada pedas sama sekali. Roti pelapisnya enak dan bukan pabrikan. Itulah yang bisa saya deskripsikan dari menu burger tempe yang saya pesan. Burger tempe ditemani dengan kentang goreng –yang saya yakini bukan kentang dingin yang dijual di supermarket- dan sambal tomat buatan sendiri. Sambal tomat berwarna merah dan lebih encer dibandingkan sambal botol. Meskipun disebut sebagai sambal, namun rasanya jauh sekali dari pedas. Malah cenderung manis namun lebih segar. Hampir seluruh menu yang kami pesan cenderung memiliki rasa yang datar. Mungkin saja karena restoran Milas merupakan restoran vegetarian jadi penggunaan garam pun dikurangi. Mungkin pula karena pelanggan restoran Milas didominasi oleh orang asing, sehingga rasa yang diciptakan pun tak sama dengan rasa Indonesia yang kaya rempah. Jadi jangan segan untuk meminta garam atau merica tambahan jika rasa yang didapatkan belum mantap. Menjelang pk. 15.00 kami pun bergegas meninggalkan Milas yang nyaman untuk nggowes ke utara. Tujuan berikutnya ialah Klinik Kopi di Gejayan. Masjid Kampus UGM Masjid Kampus UGM menjadi titik peristirahatan kami. Di samping menunaikan kewajiban, di sini kami juga meluruskan kaki dan sedikit mengisi tenaga untuk nggowes ke titik selanjutnya. Dibangun di atas lahan yang dahulu pernah menjadi pekuburan Cina, masjid Kampus UGM menjadi masjid kampus terbesar se-Asia Tenggara (menurut gudeg.net). Saya juga baru tahu informasi ini. Soal arsitektur menurut beberapa info yang saya baca, masjid Kampus UGM mengadopsi beragama gaya. Keberadaan kolam di sisi timur seperti meniru elemen arsitektur Taj Mahal. Sementara itu ornamen di sekeliling bangunan masjid yang berwarna merah muda dan emas mencitrakan arsitektur Tionghoa. Unsur Jawa hadir dalam kubah masjid yang berbentuk limasan. Ornamen kaca di lantai dua masjid mengingatkan saya pada surya Majapahit. Energi sudah bertambah sedikit setelah leyeh-leyeh di dalam masjid. Kami mencicipi rute bersepeda di dalam kampus UGM. Teringat pernyataan seorang teman tentang pilihan kuliah di UGM. Menurut dia keberadaan jalur sepeda di –beberapa tempat di- kampus UGM menjadi salah satu daya tarik memilih UGM sebagai tempat menimba ilmu. Bersepeda di lingkungan kampus UGM, terutama di jalur bundaran Filsafat menuju kampus Kedokteran Hewan memang cukup nyaman. Pepohonan rindang di sisi kanan dan kiri cukup membantu meredakan lelah saat menggowes. Medannya pun terbilang landai. Jadi, untuk sementara saya bisa mengamini pernyataan teman tersebut. Rujak Es Krim Sebelum menemui Jl. Gejayan, kami mampir sebentar di warung rujak es krim tepi Selokan Mataram. Rujak es krim di depan Fakultas Kedokteran Hewan UGM ini menjadi salah satu tempat yang ditawarkan oleh Si Woles untuk dikunjungi. Wajar saja, kuliner yang satu ini sejauh ini hanya bisa dijumpai di Jogja. Rujak es krim terdiri dari buah bengkoang, mangga muda, jambu, nanas, kedondong, dan timun. Sebenarnya tergantung musim juga. Semua buah tersebut dipotong kecil dan tipis tak beraturan lalu dibalur saus rujak (gula jawa, kacang, dan cabai) dengan tingkat kepedasan sesuai selera. Di bagian atasnya diberi es putar. Sebagai sentuhan akhir, susu kental manis cokelat dituangkan di atas es putar membentuk kurva tak beraturan. Rujak es krip pun siap untuk disantap :D Menu rujak es krim ini meskipun tak menghilangkan dahaga setelah bersepeda namun cukup menambah energi. Kesegaran ganda didapatkan dalam semangkuk rujak es krim, buah segar dan es putar yang semriwing. Klinik Kopi Titik akhir ini diawali dari cerita Mbak Ellie, seorang penyewa dari Jakarta. Kisah tentang Klinik Kopi yang dirangkai Mbak Ellie membuat kami begitu penasaran. Kebetulan Mbak Olip, Mbak Lany, dan saya termasuk penggemar kopi. Maka tak ada salahnya jika kami menjajal sendiri kisah yang diceritakan oleh Mbak Ellie. Untuk menuju Klinik Kopi cukup mudah. Dari Jl. Gejayan, masuk gang setelah toko buku Toga Mas. Jalan konblok akan menuntun kita ke kawasan hutan jati milik Universitas Sanata Dharma (di sebelah kiri jalan). Di tengah hutan jati itulah terdapat sebuah bangunan kayu berlantai dua tempat klinik kopi berada. Ada satu rombongan yang sedang konsultasi dengan Mas Pepeng, dokter di Klinik Kopi. Sembari menunggu, kami leyeh-leyeh dan mendokumentasikan suasana. Lokasinya cocok untuk nggarap tugas akhir :D. Damai, tenang, alami, dan yang terpenting dipenuhi oleh aroma kopi. Giliran kami tiba. Kami duduk berjajar layaknya pasien yang menemui dokter. Menurut cerita Mbak Ellie, pasien akan diberi pertanyaan seputar kopi yang sering dikonsumsi. Namun, karena sore ini Mas Pepeng sedang tak akur dengan mesin penggiling kopinya maka tak banyak diagnosis yang dihasilkan. Bahkan saya langsung ditanya ingin mencicipi kopi dari daerah mana. Sambil meracik kopi pesanan beberapa temannya, Mas Pepeng menunjukkan infografis kaitan rasa asam dan pahit kopi dengan lama penggorengan serta titik didih penyajian. Ia melakukan riset mandiri tentang kopi. Pun sama halnya dengan mengumpulkan biji kopi dari seluruh nusantara. Semua berdasarkan pada kecintaannya pada kopi. Kopi menjadi “agama” bagi Mas Pepeng. Saya mencicipi kopi Bajawa. Menurut Mas Pepeng, Bajawa memberikan cita rasa paling pahit dari semua kopi yang disediakan di atas meja praktiknya. Aroma kopi cukup kuat. Rasa pahit yang kencang menyisakan sedikit asam di bagian akhir. Begitu yang saya ingat dari kopi Bajawa. Mbak Mel yang tidak menyukai kopi saya paksa untuk mencicipinya. “Yeks,” reaksi spontan darinya. Yang membuat saya sedikit kurang puas di klinik ini ialah minimnya informasi tentang budaya kopi di Indonesia. Padahal kopi sebagai produk andalan tanam paksa menjadi primadona yang mampu membentuk budaya masyarakat kita. Lain tempat lain pula budaya mengolah & minum kopinya. Setelah singgah di markasnya dokter kopi pastinya saya mengharapkan informasi lebih tentang kopi Indonesia. Bukan hanya memandang kopi sebagai objek melainkan subjek yang memegang peranan penting di dalam sebuah struktur masyarakat. Ya, lagi-lagi itu hanya harapan saya :) Nggowes Pulang ke Taman Siswa
Seusai menghabiskan secangkir kopi lokal di Klinik Kopi, kami menggowes sepeda pulang ke rumah. Hari sudah gelap dan kami harus lebih berhati-hati. Mbak Olip, sebagai sosok yang tidak sporty, sudah mengalami kemajuan pesat setelah bersepeda seharian ini. Meskipun hasrat melipir ke kanan –tengah jalan- masih besar, namun saya beri empat jempol untuk ketrampilan Mbak Olip bersepeda di jalan raya. Hebat. Dua kali turun ke jalan saya rasa ia sudah bisa bersepeda mandiri keliling Jogja. Tak perlu lagi pengawalan khusus :D Hari ini kami nggowes ala Si Woles. Santai sekali. Kami mengunjungi tempat-tempat yang sesuai dengan minat. Dari siang hingga petang, hampir 20 km terlampaui. Kota Jogja yang kecil ini memang patut dijelajahi dengan sepeda :D Dengan sepeda mini putih milik Abang, saya berkelana menjelajahi desa kelahiran Ibu di Bantul. Sepeda itu mendadak menjadi milik saya ketika Abang tak singgah di rumah Simbah. Jadi saya bisa menggunakannya sepuas hati. Turun ke jalan, masuk ke kebun, bahkan berkeliling hingga pusing di dalam pendopo rumah Simbah yang luasnya dua kali lapangan basket. Kira-kira seperti itu potongan ingatan saya ketika bersepeda di Bantul semasa kecil dulu. Kini saya kembali bersepeda di desa Ibu. Kali ini tentu tidak ditemani oleh si putih karena ukurannya yang tak cocok lagi dengan tubuh saya. Selain itu saya tak pernah melihatnya. Mungkin ia hilang atau sudah dirosokkan. Saya meminjam sepeda milik sepupu. Kembali menjelajahi desa dengan penduduk yang mulai mengotakan lingkungannya. Kesempatan bersepeda itu datang dari seorang teman baru, Mbak Dori. Mbak Dori merupakan teman dekat Mbak Mel yang menjadi rekan saya di Si Woles. Ia datang dari jauh untuk melihat sawah dengan sepeda. Terserah sawah di mana saja yang penting masih masuk wilayah Jogja. Permintaan sederhana yang sangat keterlaluan jika tak bisa Mbak Mel dan saya penuhi. Maka kami pun mengajak Ruci turut serta. Memang hanya Ruci karena sepeda yang lain tak bisa dilipat untuk dibawa ke Bantul. Dengan begitu Ruci menambah jam terbang jelajah setelah sebelumnya menemani perjalanan saya menyusuri Selokan Mataram arah barat. Saya sengaja tak ikut campur dalam menentukan rute. Tak tebersit keinginan untuk mengajak Mbak Mel dan Mbak Dori untuk menapaktilasi rute bersepeda saya semasa kecil. Semua saya serahkan kepada mereka untuk memilihnya. Karena perjalanan bersepeda kali ini ialah perjalanan ala Si Woles J Kami bersepeda ke barat, menuju pusat cinderamata Kasongan. Namun kami tak menuju jalan utama tempat toko-toko cinderamata berada. Kami justru melipir mencicipi jalan-jalan makadam dengan beberapa rumah penduduk dan sawah di kanan dan kirinya. Mulanya kami melewati rumah penduduk dengan aktivitas di halaman depan. Mereka sedang menyelesaikan dekorasi tembikar menggunakan ornamen berbahan kayu kelapa. Sebuah bentuk baru yang saya jumpai. Ornamen itu berbentuk bunga yang kemudian ditempelkan di badan tembikar. Sempat juga kami melewati rumah dengan penghuni yang sedang mengaso di terasnya. Mereka sangat ramah membalas salam kami. Sebuah kehangatan yang mulai langka dijumpai di Jogja. Mbak Dori yang memimpin perjalanan memotong jalan aspal dan masuk ke jalan kecil di antara sawah. Terik matahari begitu terasa di sini. Tak ada pepohonan yang menaungi. Untungnya kiriman angin yang datang sesekali mampu sedikit menepis panasnya cuaca siang itu. Tak ada tujuan khusus di sawah ini. Mbak Dori hanya memilih tempat untuk mengabadikan momen. Saya sok yakin bahwa itu menjadi salah satu momen berharganya. Dia dipotret bersama sepeda di tengah hamparan sawah berlatar perbukitan. Amboi. Pemotretan tak berlangsung lama. Mbak Dori kembali memimpin jalan. Kali ini menuju jalan pulang. Ia mengincar tempat duduk di tepi jalan di dekat rumah Bude. Tempat duduk itu disusun dari bambu. Jika leyeh-leyeh di sana maka hijaunya sawah terhampar di depan mata. Sesekali motor berkecepaan tinggi yang dikendarai anak-anak, anak muda, atau bapak-bapak melintas. Banyak juga anak-anak sekolah yang menggowes sepedanya. Ah, menyenangkan. Saya memilih berbaring hingga terlelap. Sementara itu Mbak Dori bercakap-cakap dengan Mbak Mel. Tak berapa lama saya dibangunkan untuk pulang. Singkat sekali perjalanan bersepeda kali ini.
Bersepeda santai tanpa rentetan jadwal acara seperti itu ternyata mengasyikkan juga. Yang ingin mencoba gaya bersepeda seperti ini haruslah terbebas dari segala macam ambisi. Ambisi tentang rute, titik tujuan, penggalian informasi, dan kuliner sepertinya harus ditiadakan sejenak. Yang terpenting itu saya dan sepedanya. Saya bisa mengayuh sepeda sebebas-bebasnya. Saya beristirahat, bercakap-cakap, dan bersantap jika ingin. (Inu) |
Blog si WolesIde, kisah, serta paket promo Si Woles bisa dijumpai di sini. Arsip
September 2014
Kategori
All
|