Si Woles: Sewa & Wisata Sepeda di Jogja
  • Beranda
  • Sewa sepeda
    • Jenis sepeda
    • Biaya sewa sepeda
    • Syarat & cara sewa sepeda
    • Antar jemput sepeda
  • Tentang kami
    • Kontak kami
  • ENGLISH

Yogya Di kala Malam

26/4/2013

0 Comments

 
Picture
Di depan Stasiun Tugu (Foto: Deni Akbar)
Yogyakarta selalu memiliki hal-hal menarik yang membuat siapa pun yang pernah berkunjung, untuk datang kembali dan menikmati setiap sudut kotanya. Salah satunya adalah saya. Dan ini adalah kali ketiga saya untuk menikmati kota ini. Alasannya cukup simpel, hanya isenk-isenk saja dan  ingin jalan-jalan. Dan ternyata hal ini bertepatan dengan Valentrain, sebuah program promo dari PT. KAI untuk menyambut hari kasih sayang, valentine.

Mulailah cari tanggal yang pas, yang sesuai dengan schedule kantor. Dan waktu yang tepat ternyata di hari Sabtu sore, dan pulang di Minggu paginya. Sangat singkat, dan mungkin terkesan gila. Tapi dis analah serunya, mengatur waktu yang singkat untuk menikmati kota Yogya dan saya memilih untuk bersepeda. 

Keraguan mulai muncul untuk cari sepeda. “Kira-kira ada apa nggak ya, rental sepeda yang buka di jam 2 pagi?” tanya saya dalam hati. It’s googling time, dan akhirnya ada beberapa rekomendasi rental sepeda. Coba telepon untuk booking tapi mayoritas rental sepeda hanya buka sampai jam 10 malam. Dan nggak ada yang buka sampai jam 2 pagi. “Waduh, bisa gagal nih,” pikiran saya terus bertanya. 

Googling lagi, dan akhirnya ada satu forum yang sedang bahas tempat sewa sepeda di Yogya. Dan ketemulah siwoles. Sempat ragu, tapi harus coba. Dan tersambunglah saya dengan Mbak Inu. Dan saya coba confirm untuk sewa sepeda di hari minggu pagi jam 2. Terdengar aneh, dan sedikit ragu. Itu yang saya dengar dari nada suara Mbak Inu. Tapi akhirnya disanggupi. Ternyata ada layanan antar-jemputnya juga, bolehlah untuk minta diantar ke stasiun Tugu Yogya. 

Cuma ada sau kata “KEREN” ternyata ada sewa sepeda yang mau menyanggupi request pelanggan dan yang terpenting rela buka sampai jam 2 pagi, diantar pula lagi.         

Dan akhirnya, tepat pukul 00.45 pagi, saya tiba di Stasiun Tugu Yogyakarta. Sudah gak sabar untuk menikmati suasana Yogya di tengah malam. Karena faktor keamanan, akhirnya saya dan mbak inu janjian untuk ketemu jam 3 pagi di depan miniatur lokomotif dekat pintu perlintasan kereta malioboro. Waktu masih menunjukkan pukul 01.00, suasana stasiun tugu sangat hening, terlihat beberapa penumpang sedang menunggu kereta yang akan membawa mereka menuju Surabaya, Malang atau kota-kota lain di Jawa Timur. Beberapa pedagang pun tertidur pulas, ada yang tidur dibangku-bangku kosong dan sebagian lagi terlelap di pelataran peron stasiun. 

Sementara saya, sibuk googling untuk menyambangi tempat yang masih ramai di tengah malam, tentunya selain titik nol kilometer dan alun-alun kidul. Dan ternyata ada, Sarkem.. tapi nggak recomended lah. “So, yaa.. sudah, kemana aja lah yang penting gowes” pikir saya.

Satu sms masuk, dan ternyata dari Mba Inu, beliau sudah otw ke Stasiun Tugu,  padahal jam masih di angka 02.45. Sangat tepat sekali. Saya segera bergegas menuju miniatur lokomotif. Banyak mobil pribadi dan taksi yang parkir di depan Stasiun Tugu menunggu penumpang atau menjemput saudara yang hendak berkunjung ke Yogya. Beberapa tukang becak tertidur di jok penumpang, dengan posisi seadanya. Walaupun gak terlihat uwenak dan pastinya kalo saya yang tidur di sana, besok pagi sudah sakit badan. Tapi mereka tetap menikmati waktu istirahat ada. 

Sempat duduk sebentar di depan miniatur lokomotif dan selang lima menit kemudian, ada dua orang, yang satu naik motor dan yang satunya lagi naik sepeda. “Kayaknya ini, yang namanya Mba Inu”. 

Dan benar, “Deni ya..?” tanyanya, dan saya meng-iya-kan. Ngobrol sebentar mengenai tempat excited malam di Yogya dan kemungkinan adanya kuliner yang masih buka di pagi buta. dan kami pun serah terima sepeda, lagi-lagi saya terkagum. 

Safety riding sangat dijunjung tinggi sama Si Woles, safety light ada di depan dan belakang sepeda, kabel pengaman sepeda, plus helm hitam yang makin bikin penyewa merasa aman, dan tentunya sepeda jenis MTB dengan settingan shock yang soft, gak bakal bikin tangan terasa pegel. Dan saya juga buat janji untuk ketemu lagi ditempat yang sama besok pagi jam 8. 

Picture
Suasana Malioboro saat jam 3 pagi (Foto: Deni Akbar)
Mulailah saya menikmati Kota Yogya di pagi buta. Kawasan Malioboro yang kalau di siang hari sangat ramai dengan para pedagang dan wisatawan, kini terlihat sepi. Jalanan sangat lengang, ada beberapa orang yang mengabadikan Malioboro sambil bernarsis ria bersama kawan ditemani beberapa lesehan yang masih buka hingga pagi tapi sayang sekali, tampaknya saya belum berjodoh dengan kopi joss Le Man. 

Pasar beringharjo yang sangat ramai di siang hari, juga terlihat sepi. Mungkin kalau di kasih lighting yang bagus, pasar ini punya pesona tersendiri. Karena bangunannya yang masih tergolong berarsitektur kuno pastinya akan sangat memanjakan mata. Namun ada yang beda juga di sepanjang Malioboro. Saya tidak melihat kelap-kelip lampu di pinggir jalan. Kenapa kah? Padahal lampu itu yang bikin suasana makin bagus. Mungkin faktor hemat listrik atau kalo di pagi buta sudah dimatikan. Mungkinnn...

Picture
Pendar cahaya di titik Nol Kilometer (Foto: Deni Akbar)
Selanjutnya titik Nol Kilometer, banyak para muda-mudi yang menghabiskan waktu di sana, dan sepertinya inilah tempat yang selalu hidup, di kala tempat-tempat lain terlelap. Lighting dari dua bangunan yang sangat indah yaitu Bank Indonesia dan Kantor Pos membuat mata ini masih full 100 persen tanpa rasa kantuk. Dan pastinya tertib lalu lintas. 

Inilah salah satu pesona Yogya. Walaupun suasana jalan sepi dan kosong, para pengendara akan mematuhi lampu lalu lintas yang menyala. Padahal kalau diterobos, ya bisa..bisa saja. Wong jalan juga sepi. Tapi di sinilah pesonanya.

Lurus terus, dan saya sampai di Alun-alun Utara. Jam di handphone menunjukkan pukul 03.20. Suasana agak gelap, ada beberapa tenda kecil berwarna putih berjejer di lapangan alun-alun, tampaknya sedang ada event dari pabrikan otomotif terkemuka di negeri ini. Tapi tetaplah suasana hening, hanya warung kopi yang masih buka, sementara warung-warung cenderamata dan warung lainnya tutup dengan penutup terpal biru dan terkesan seadanya. 

Saya putar balik di depan Masjid Keraton, untuk selanjutnya menuju Alun-alun Kidul. Katanya ini juga salah satu tempat yang hidup 24 jam nonstop. Dengan bantuan GPS, saya gowes melewati titik Nol Kilometer yang masih tetap saja ramai. 

Suasana malam yang hening terasa sangat nyaman sekali untuk menikmati setiap sudut kotanya, hingga gak terasa saya sudah sampai di Alun-alun Kidul. Pintu gerbang yang menyerupai benteng dengan terowongan di bawahnya seakan mengucapkan selamat datang pada setiap pengunjung yang menyinggahinya. Dengan tambahan lighting yang berwarna-warni, menambah pesona gerbang ini. 

Picture
Pesona lampu di gerbang keraton. (Foto: Deni Akbar)
Dan benar saja, Alun-alun Kidul yang luasnya lebih kecil dari Alun-alun Utara, dengan ikon pohon beringin kembar di tengahnya masih tetap ramai. Ada beberapa motor yang berjejer parkir di pinggir lapangan dan beberapa pedagang yang mulai menutup warungnya. Saya hanya berkeliling saja dan terus melanjutkan perjalanan kembali menuju titik nol. 

Selama perjalanan, sudah mulai terlihat beberapa warga yang mengangkut barang bawaan untuk dijual di pasar, surau-surau pun sudah mulai bersuara membangunkan warga sekitar untuk segera melaksanakan sholat subuh. Melewati kembali titik nol, yang mulai terlihat sepi saya memutuskan untuk sholat subuh di Masjid Keraton, sambil melepas lelah sebentar. 

Tak terasa mentari mulai menampakkan cahayanya, saatnya cari sarapan pagi. Ada beberapa rekomendasi. Dari mulai gudeg, soto ayam kampung dan bubur ayam. Tapi saya memutuskan untuk ke warung Soto Kadipiro di Jalan Wates, dan berharap sudah buka karena masih terlalu pagi. Dan ternyata benar saja, warung Soto Kadipiro masih tertutup rapat. 

Dan akhirnya saya putar balik ke arah Stasiun Tugu dan mampir di Soto Pak Gareng. Sebenarnya soto Pak Gareng hampir sama dengan soto pada umumnya, hanya saja nasi yang biasa dipisah dengan soto, di warung soto ini nasi dijadikan satu dengan sotonya, plus tambahan lethuk, sejenis singkong yang mirip dengan uli goreng. Rasa sotonya pas dan gak terlalu kuat. Tapi, ramuan rempah-rempah yang tidak terlalu gurih, membuat lidah terasa nyaman saat mencicipinya. Dan inilah alasan utama orang-orang tuk singgah di warung ini. 

Tak terasa waktu sudah menunjukkan jam 07.45, saatnya kembalikan sepeda dan saya back to Jakarta. Yogya, selalu memiliki pesona. Walaupun hanya sebentar tapi saya tetap menikmatinya. See you later...

Ditulis oleh: Deni Akbar, pelanggan Si Woles dari Jakarta.

0 Comments

Keliling Yogya cara selow

17/11/2012

7 Comments

 
Picture
Menyusuri Jogja di pagi hari @Jl. Mangkubumi
Menjelajah kota adalah salah satu cara berwisata yang saya dan anak semata wayang gemari.  Tidak sekedar mendatangi obyek-obyek wisata, tapi mengalami kota seperti layaknya warga lokal menjalani kesehariannya. Dalam sebuah kesempatan berkunjung ke Kota Yogyakarta belum lama  berselang, kami sepakat untuk mencoba berkeliling Yogya dengan naik sepeda.

Perjalanan sehari penuh kami nikmati dengan santai, tanpa tergesa-gesa, atau selow dalam bahasa walikan yang asal katanya slow. Catatan perjalanan bersepeda sejauh 20 km tersebut, lengkap dengan segala detailnya kami tuliskan di sini, untuk mengajak Anda ikut menikmati kota dengan cara yang berbeda. 

Persiapan
Sebelum meninggalkan ibukota, kami sudah melakukan booking online sepeda sewaan lewat situs siwoles.weebly.com. Uniknya, seluruh sepeda sewaan milik Si Woles dilengkapi nama beserta deskripsinya. Sehingga penyewa bisa langsung memilih sepeda yang disukai saat booking. Berhubung awam dengan lika-liku jalan di Yogya dan akan bersepeda bersama anak yang insyaAllah baru akan genap 9 tahun bulan depan, kami sekaligus minta ditemani pemandu dari Si Woles.
Picture
Bersiap untuk woles
Sarapan di Malioboro
Jam tangan masih menunjukkan pukul 05:30 WIB, namun hari sudah terang. Saya beserta anak dan seorang pemandu bersiap memulai perjalanan. Saya mengendarai si Cempe, anak kami, Kaysan, memilih si Ruci, sedangkan sang pemandu yang juga sahabat baik kami, sudah siap di atas si Momo. Seorang teman dengan sepedanya sendiri turut bergabung pagi itu untuk sarapan. Standar sewa sepeda di Si Woles sudah termasuk helm dan kunci. Bahkan bagi penyewa dengan anak balita, juga tersedia persewaan boncengan anak.

Perjalanan di hari Senin pagi, 29 Oktober 2012, di mulai dari tempat kami menginap di daerah Karangjati, Jl. Monjali (sedikit melewati perbatasan Kota Yogya dan Kabupaten Sleman). Rencananya kami akan bersepeda ke arah selatan melewati Stasiun Tugu menuju Malioboro untuk sarapan di Pasar Beringharjo.

Picture
Suasana jalanan yang masih sepi @Jl. Monjali
Lalu lintas relatif masih sepi sepanjang Jl. Monjali. Tak lama kemudian kami memasuki jalur lambat Jl. Pangeran Mangkubumi, salah satu jalur yang memang khusus diperuntukkan bagi kendaraan tidak bermotor hingga ujung Jl. Malioboro. Nyaman sekali bersepeda di jalur lambat Malioboro kala pagi. Seluruh toko masih tutup, PKL pun belum mulai menggelar dagangannya. Jalur lambat bersih dari kendaraan bermotor para pembeli yang biasa parkir. Sepanjang jalan, beberapa kali kami berpapasan dengan anak sekolah yang bersepeda. 

Jarak sekitar 5 km hingga Benteng Vredeburg kami tempuh tanpa terlalu berpeluh karena medan yang terus menurun. Setelah sepeda kami kunci di area parkir benteng, saya pikir kami akan langsung menuju Pasar Beringharjo. Tapi ternyata pemandu mengajak kami untuk duduk-duduk dulu di salah satu bangku di kawasan pedestrian depan benteng.

Sembari duduk-duduk di pedestrian, kami mengamati dan menikmati kesibukan kota di pagi hari. Mulai dari  TransJogja yang melintas kosong, anak sekolah yang mengendarai sepedanya, petugas kebersihan yang menyapu jalan, hingga sampah apa saja yang dihasilkan warga kota ini.

Picture
Bersama Mbah Marto @depan Benteng Vredeburg
Seorang kakek tua bertongkat tampak berjalan tertatih-tatih menuju tempat kami duduk. Ketika dekat, beliau spontan merengkuh kepala Kaysan dengan lembut, sembari mengucap doa. Tak kurang dari 15 menit akhirnya kami berbincang-bincang hangat dengan si Mbah yang bernama Marto. Tak sedikit petuah dan doa keluar dari mulut Mbah Marto untuk kami. Terima kasih Mbah, semoga berlimpah berkah kebaikan untuk Mbah.

Usut punya usut ternyata inilah ciri khas dari berwisata ala si Woles, yang berbunyi Selow kalau dibaca terbalik. Di balik usaha sewa sepeda, ternyata Si Woles ingin mengajak para pelancong yang acapkali tergesa-gesa, terjebak ritme kejar setoran layaknya kerja, untuk menurunkan tempo. Pelancong diajak kembali menikmati perjalanan dengan cara santai atau pelan-pelan, sembari membangun kontak dengan tempat yang tengah dikunjungi.  

Picture
Menikmati sarapan soto sapi Bu Pujo @Pasar Beringharjo
Selepas berbincang dengan si Mbah, kami berjalan santai menuju Pasar Beringharjo, naik dari pintu selatan ke lantai 2 tempat kios-kios makanan. Kami memilih kios soto daging dan es campur Ibu Pujo, rekomendasi pemandu kami. Ternyata saat waktu menunjukkan pukul 07:00 WIB, di mana kami adalah pengunjung pertama, pemilik kios masih menunggu daging masakannya empuk.

Kami pun mulai dengan minum es campur, yang lebih mirip dengan es cincau hijau bersirup merah yang biasa dijajakan di jalanan Jakarta, tapi yang ini ditambah campuran kelapa muda. Tak berapa lama soto pun dihidangkan. Entah kenapa nasi soto dan es campur terasa nikmat sekali di pagi itu. Hingga beberapa kali Kaysan berkomentar, “Bu, ini sotonya enak banget!” Kami pun tak perlu merogoh kocek terlalu dalam, cukup Rp 10 ribu untuk semangkuk nasi soto dan segelas es campur.

Setelah perut kenyang, kami kembali bersepeda menuju Karangjati melewati rute yang sama. Hanya saja sepanjang perjalanan pulang, kami harus konsisten menggowes karena kali ini jalan terus menanjak. Lalu lintas juga mulai lebih ramai dibanding ketika berangkat. Sekitar pukul 08:30 WIB kami sampai di Karangjati.

Taman Bacaan Bledug Mrapi Nandan
Rehat dan baring-baring sekitar 30 menit sudah cukup untuk mengembalikan tenaga. Kami putuskan untuk segera menuju tujuan berikutnya, yaitu Taman Bacaan Anak Bledug Merapi. Sengaja kami singgah, karena penasaran ingin melihat langsung dan belajar taman bacaan yang sukses mengelola mahasiswa sebagai relawannya.

Lokasi Bledug Merapi sekitar 2 km ke arah utara dari tempat menginap kami di Karangjati. Kami tiba sekitar pukul 09:15 WIB, disambut Mas Dwiki, relawan yang tengah bertugas menjaga taman bacaan. Bledug Merapi buka setiap hari mulai pukul 09:00 -17:00 WIB. Kaysan langsung memilih buku dan menemukan posisi wenak di depan jendela. 
Picture
Berwisata sambil belajar mengelola taman bacaan di Taman Bacaan Bledug Merapi
Tak lama berselang masuk Mbak Dian yang baru pulang dari percetakan membawa leaflet Bledug Merapi. Beruntung kami bisa bertemu dan belajar banyak dari Mbak Dian yang bersama sang suami merupakan pendiri, pemilik, dan pengelola Bledug Merapi. Terima kasih untuk ilmunya Mbak Dian.


Hutan Mini UGM
Selepas dari Bledug Merapi kami lanjut bersepeda ke arah UGM sekitar 2,7 km. Baru kali ini saya sadar kalau kawasan UGM berada di Kabupaten Sleman, bukan Kota Yogyakarta. Ketika kami mencapai bundaran Pasca UGM (Jl. Kesehatan), mulai terdengar ramai suara burung. Jalanan juga tampak tertutup selubung putih, tumpukan kotoran burung.

Kami putuskan untuk masuk ke dalam kampus UGM, mencari sumber bunyi tersebut. Ternyata di balik Jl. Kesehatan tersembunyi hutan mini (arboretum) Fakultas Biologi UGM seluas 0,5 ha. Hutan ini bukan satu-satunya di UGM, masih ada satu lagi hutan mini seluas 0,9 ha milik Fakultas Kehutanan. Keduanya merupakan surga bagi burung-burung urban.
Picture
Mengamati burung-burung urban @hutan mini UGM
Kami sempat mengamati beberapa burung cangak abu (Ardea cinerea) terbang melintas. Ujung pohon-pohon besar yang menjulang tampak dipenuhi oleh sarangnya. Ledakan populasi burung sejenis juga sempat kami amati hingga tahun 2010 di sepanjang Jl. Ganesha, Bandung. Kami lebih sering memanggilnya burung blekok kala itu. Namun entah apa yang terjadi, belakangan ini Jl. Ganesha sudah bersih dari burung cangak abu. 

Rujak es krim
Tak terasa matahari sudah tepat di atas kepala, kami memutuskan untuk istirahat sejenak. Adzan terdengar berkumandang. Untuk melepas lelah, kami memilih kios rujak es krim pinggir jalan di Jl. Bougenville (depan Fakultas Kedokteran Hewan UGM) yang jaraknya sekitar 1,3 km dari hutan mini. Baru kali ini kami mencicipi potongan buah yang dirajah kecil-kecil, diberi bumbu rujak,dan dipadu dengan es puter.

Awalnya karena belum yakin akan rasanya, maka saya dan Kaysan sepakat hanya memesan  satu mangkok untuk berdua. Wah ternyata luar biasa maknyusssss. Cocok sekali dimakan di tengah udara panas. Kaysan menikmati hingga tetes penghabisan, diangkat mangkoknya, untuk diseruput. Saya yang sama sekali tidak dapat kesempatan mencicipi, terpaksa pesan satu mangkok lagi. 

Di kios rujak ini kami sempat janjian bertemu Rani, teman yang dulu sempat di Jakarta, tapi kini lebih memilih tinggal di Yogya.  Rani pesan lotis dan ketika datang ternyata inilah rujak yang selama ini saya kenal. Potongan aneka buah lebar-lebar dengan bumbu rujak yang dimakan dengan dicolek. Semangkok rujak es krim atau pun lotis dibandrol dengan harga Rp 5 ribu saja.
Picture
Menikmati jajanan khas Jogja, es krim rujak @depan Fakultas Kedokteran Hewan UGM
Persewaan sepeda UGM
Sewaktu masuk kampus UGM menuju hutan mini, hal pertama yang menarik perhatian kami adalah pos peminjaman sepeda. Di situ berjajar lebih dari 10 buah sepeda berwarna biru, lengkap dengan keranjang. Kami melewati beberapa pos peminjaman sepeda lainnya saat menyusuri lembah sepanjang Jl. Olahraga, melewati University Club, hingga pintu utama Kampus UGM.

Jalan-jalan di dalam kampus juga dilengkapi jalur khusus sepeda yang dibatasi garis putus-putus. Beberapa mahasiswa tampak memanfaatkan sepeda sewaan. Ada juga mahasiswa yang naik sepedanya sendiri. Senang sekali bisa merasakan nyamannya bersepeda di dalam Kampus UGM. Dengan fasilitas bersepeda sebaik itu, agak heran juga melihat masih banyak yang naik motor di dalam kampus.


Perpustakaan Kota
Keluar dari Kampus UGM, kami melanjutkan perjalanan menuju Perpustakaan Kota yang terletak di kawasan Kota Baru. Kami menyusuri Jl. Cik Di Tiro, melewati RS Panti Rapih dan RS Mata Dr. Yap. Pemandu kami sempat berhenti sebentar di seberang bangunan tinggalan kolonial yang tampak megah terawat. Ternyata gedung tersebut adalah gedung RS Mata Dr. Yap, yang dibangun oleh seorang dokter mata filantrop di masa pra kemerdekaan yang bernama lengkap Yap Hong Tjoen. Menurut pemandu kami, di dalam RS tersebut terdapat Museum Dr. Yap, sayang kami belum bisa mampir kali ini.

Sepanjang Jl. Cik Di Tiro sebenarnya masih tersedia jalur khusus sepeda, hanya sayangnya tertutup oleh barisan mobil yang parkir paralel di tepi jalan, terutama di daerah RS Panti Rapih. Kami masih lanjut bersepeda menyeberangi perempatan Jl. Sudirman, menuju Jl. Suroto. Setelah menempuh jarak sekitar 2,7 km dari kios rujak, kami sampai di Perpustakaan Kota Yogyakarta yang berada di pojok jalan antara Jl. Suroto dan Jl. Sabirin.
Picture
Air galon isi ulang GRATIS @Perpus Kota Jogja
Gedung perpustakaan bertingkat dua dan dilengkapi parkir sepeda tersebut tampak ramai dengan pengunjung. Sebagian pengunjung duduk dengan laptopnya di halaman,di bawah saung-saung yang dilengkapi wi-fi. Begitu masuk, langsung terasa sejuknya ruang dalam perpustakaan yang berpendingin ruangan.

Setelah menitipkan tas dan helm sepeda, pandangan kami tertahan pada dispenser dan gelas yang disediakan gratis untuk pengunjung. Luar biasa ada fasilitas air minum di ruang publik. Wah langsung kami mengisi penuh botol minum kami yang sudah menipis. Sungguh ini sebuah insentif bagi pengunjung yang rajin bawa botol minum sendiri. 

Kali ini kami langsung ke lantai 2 menuju ruang baca anak. Kombinasi karpet dan sofa empuk begitu menggoda kami untuk baca sambil tidur-tiduran. Kaysan langsung asyik memilih bacaan dan  pemandu kami sibuk berinternet di sudut ruang. Sementara saya tidur-tiduran baca majalah sampai tertidur sungguhan menunggu Kaysan yang tidak mau beranjak dari perpustakaan.

Berhubung hari makin siang dan kami belum makan siang, dengan berat hati kami harus bergerak. Sebelum pergi, kami sempat menggunakan toilet perpustakaan yang luar biasa bersih. Sungguh salut untuk Pemkot Yogya dengan Perpustakaan Kota-nya yang benar-benar bermanfaat bagi warga.

Picture
Berwoles ria di Perpus Kota, sebuah perpus yang bersahabat
Kota Baru dan House of Raminten
Perjalanan kami menjelajahi Yogya ditutup dengan makan siang di House of Raminten yang masih berada di kawasan Kota Baru. Lokasinya hanya sekitar 500 m dari Perpustakaan Kota.

Sewaktu menjelajahi kawasan Kota Baru, nuansa tata kota dan arsitekturnya sangat terasa berkonsep sama dengan kawasan Menteng di Jakarta ataupun Dago di Bandung.

Ternyata pemilik House of Raminten di Jl. FM Noto No. 7 yang kami kunjungi tersebut sama dengan pemilik Toko Mirota, toko batik dan oleh-oleh Yogya dengan harga pas yang terkenal di ujung selatan Jl. Malioboro. Memasuki bangunan kayu berwarna gelap House of Raminten terasa sekali atmosfer jawa yang kental. Juga kenyentrikan serta rasa humor yang tinggi dari pemiliknya. 

Harga makanan dan minuman terasa bersahabat dengan kantong. Cukup siapkan 20 ribu rupiah per orang untuk sepiring nasi dengan ayam serta minuman dingin. Untuk rasa tidak terlalu spesial. Tapi Kaysan yang memesan ayam koteka sampai bertanya, “Ibu bisa masaknya nggak di rumah?”. Menu yang satu ini, campuran daging ayam cincang dengan telur berbumbu mirip pepesan yang dibakar dalam bambu, saya rekomendasikan untuk Anda coba.
Picture
Menu ayam koteka dan suasana @Raminten
Perjalanan pulang
Waktu sudah menunjukkan pukul 16:00 WIB ketika kami rampung makan siang. Kami pun meninggalkan kawasan Kota Baru menempuh jarak sekitar 3 km kembali ke Karangjati untuk bersiap pulang ke Jakarta. Lalu lintas sore hari cukup padat, barangkali karena bertepatan dengan waktu pulang kantor.

Luar biasa lega rasanya saat menginjakan kaki kembali di Karangjati. Terus terang selama perjalanan hati saya ketar-ketir karena membawa anak. Ini pengalaman pertama saya bersepeda di Yogya. Saya sama sekali tidak punya bayangan seberapa sabar pengendara kendaraan bermotor di Kota Yogya.

Tapi alhamdulillah selama di perjalanan bisa dibilang saya tidak mendengar klakson tak sabar dari pengendara mobil atau motor. Mereka cukup sabar menunggu kami berbelok di persimpangan. Bahkan di persimpangan besar saya perhatikan tersedia ruang tunggu sepeda yang berwarna hijau. Pengendara mobil dan motor cukup disiplin untuk tidak masuk ke ruang tersebut. 
Picture
Pengalaman pertama menggunakan ruang tunggu sepeda @Jogja
Satu-satunya hal yang sangat mengganggu dan membahayakan kami adalah kebiasan pengendara motor melipir di sisi kiri jalan kami dari arah berlawanan. Tidak hanya sekali dua kali saya berpapasan. Sungguh tak habis pikir, padahal mudah sekali untuk menyeberang dan berjalan di arah yang benar.

"Luar biasa menyenangkan dan sama sekali tidak melelahkan," ujar Kaysan, ketika saya tanyakan pendapatnya di akhir perjalanan. Padahal kalau dijumlahkan, jarak yang kami tempuh di hari tersebut mencapai 20 km.

Rendahnya jumlah pesepeda di Kota Yogya
Agak kaget juga saya selama perjalanan menjumpai jumlah pesepeda di Yogya tidak sebanyak dugaan. Padahal jarak terjauh dari ring road utara ke selatan saja tak lebih dari 10 km. Tampaknya warga Yogya sudah kecanduan naik motor. “Bisa dikatakan hampir setiap rumah tangga di Yogya punya sepeda motor”, ungkap pemandu kami. Wah sayang sekali, padahal fasilitas bagi pesepeda sudah begitu jauh lebih memadai dibanding Jakarta.

Semoga dikunjungan berikutnya saya bisa bertemu lebih banyak pesepeda di jalan-jalan Kota Yogya. Mengintip di situs resmi BPS Kota Yogyakarta tercatat di tahun 2009/2010 ada sekitar 50 ribu mahasiswa di Kota Yogya (di luar UGM yang masuk Kab. Sleman). Bila setengahnya bersepeda, berarti akan ada 25 ribu pesepeda di Kota Yogya.

Penutup
Menulis catatan perjalanan kali ini berikut segala detailnya terasa begitu mengalir dan mudah. Masih terekam jelas dalam ingatan apa yang kami alami, walaupun saya tidak mencatat secara khusus. Tentunya karena kami menjalaninya tanpa tergesa-gesa atau selow. Meresapinya sebagai sebuah proses mengalami kota. Bukan sekedar mengejar obyek wisata untuk berfoto. 

Rute jelajah yang ditawarkan Si Woles dapat disesuaikan dengan minat pelancong dan juga bisa dilakukan lebih dari satu hari. Ketika kami memesan sepeda, sempat ditawarkan pilihan untuk membelah Kota Yogya dari utara ke selatan, melewati Tugu, Malioboro, keraton sampai daerah Krapyak di selatan Kota Yogya. Atau bisa juga menyusuri Selokan Mataram melewati sawah-sawah ke arah barat atau timur. Bahkan bila ke timur bisa sampai komplek Candi  Prambanan dan sekitarnya. Hanya saja karena mengukur kemampuan anak, kami memilih rute yang tidak terlalu jauh dan berat.

Situs Si Woles juga memuat catatan tempat-tempat yang menarik untuk dikunjungi. Anda bisa memanfaatkannya untuk merencanakan rute sendiri dan bersepeda tanpa perlu bantuan pemandu. Bila Anda tersesat, tidak perlu khawatir karena itu akan menjadi bagian dari proses menikmati perjalanan itu sendiri, asalkan Anda tidak tergesa-gesa.

Ditulis oleh: Shanty Syahril, ibu seorang anak, tinggal di Jakarta.

Catatan:

Jarak tempuh (sumber: google map)
Karangjati (Jl. Monjali) - Benteng Vredeburg             5 km (pp 10 km)
Karangjati - Bledug Mrapi Nandan                              2 km
Bledug Mrapi Nandan - Hutan Mini UGM                   2,7 km
Hutan Mini UGM - Rujak Es Krim Jl. Bougenville     1,3 km
Rujak Es Krim - Perpustakaan Kota                           2,7 km
Perpustakaan Kota - House of Raminten                  0,5 km
House of Raminten - Karangjati                                  3 km

Makan
Alokasi sekitar Rp 50 ribu/orang sudah lebih dari cukup untuk makan minum selama perjalanan satu hari.

Sewa sepeda
Selama masa promosi hingga 31 Desember 2012, sewa sepeda dari Si Woles seharga 25 ribu/24 jam. Untuk jasa pemandu sebesar 100 ribu/hari/ orang (10 jam), sudah termasuk biaya sewa sepeda. Untuk kelompok dengan jumlah peserta maksimal 5 orang, biaya pemandu Rp 250 ribu (belum termasuk biaya sewa sepeda). 
Picture
Peta rute pagi & siang hari
7 Comments

Kisah pelanggan pertama Si Woles

26/8/2012

0 Comments

 
Tepat pada Minggu pagi (8/4), Si Woles dengan semangat mengantarkan sepeda ke pelanggan pertama, yaitu Mba Anis di daerah Blimbingsari. Menurut sms yang Si Woles terima, Mba Anis berniat meminjam 2 buah sepeda, di mana salah satunya dilengkapi dengan boncengan untuk balita. Rencananya ia ingin bersepeda bersama Mas Bimo, sang suami & Mahes, ananda tercinta.

Mau tahu bagaimana pengalaman Mba Anis sekeluarga saat berwisata dengan Si Woles? Sila simak ceritanya di bawah ini, yang dikirimkan via surel beberapa hari yang lalu :-)
****
Picture
Ternyata bersepeda kemana-mana menyenangkan, apalagi untuk ukuran Kota Jogja yang bisa dibilang tidak terlalu luas.

Sejak sebelum sampe ke Jogja, sudah ada rencana buat nyempetin sepedaan hari Minggu pagi di boulevard UGM. Berhubung di rumah eyang sepedanya cuma satu dan nganggur lama jadi nggak bisa dipake, dan karena di jogja ada kenalan Mb Inu yang hobinya naek sepeda, jadilah nanya ke beliau, kira-kira ada kenalan yang sepedanya bisa disewa apa tidak.

Dan ternyata, pas banget ada 2 dan yang satu ada boncengannya. Waktu dianterin nggak dikasih tau kalo ternyata sepedanya punya nama si Abel untuk si hitam, dan si Cempe buat sepeda cewek nya yang bernama putih. Waktu itu Mahes nyebutnya sepeda Ayah & sepeda Mahes J

Akhirnya pinjem sepeda buat 2 hari, yang lumayan berkesan, nggak cuma buat Mahes tapi juga Ayah & Bunda.

Jadi selama si Abel dan si cempe bersama kita, kita ajak muter-muter ke Boulevard UGM, ke stasiun Lempuyangan, sama ke Gramedia yang di Kota Baru. Banyak cerita asyik yang kita dapet waktu sepedaan bertiga.

Waktu jalan-jalan di minggu pagi paling berkesan buat Mahes karena itu adalah pertama kalinya dia dibonceng naik sepeda. Menikmati banget sampe kalo berhenti bentar aja buat poto-poto pasti udah langsung teriak: “Ayo nDa, jalan lagiii…!!!” :p  Selain itu, karena banyak juga yang sepedaan, Mahes jadi berasa ada temennya ^^

Picture
Ayah sama Bunda juga enjoy banget, muterin kawasan pertanian, kedokteran dan sekitarnya yang adem.  

Lain lagi kesan waktu ke stasiun sama ke Gramedia. Waktu itu kita berangkat lepas Ashar. Sepanjang perjalanan berasa jadi artis karena banyak yang ngeliatin, dirumpiin, ada juga yang Cuma senyum-senyum sambil takjub ngliatin kita. Mungkin karena kita enjoy banget naik sepeda komplit pake helm, bawa anak pula, sementara yang lain naik motor. Terus anak nya di belakang terlihat nyaman cuci mata sambil ngobrol sama bunda, hehehe….

Terus begitu sampe parkiran Gramedia, ketemu sama Bapak-bapak yang bilang ke kita, kalau beliau salut masih ada yang mau jalan-jalan naik sepeda. Hehehe…bunda jadi berbunga-bunga :p

Ternyata Si Abel sama Si Cempe nyaman dipake. Si Abel yang jenisnya MTB pas banget sama Ayah yang jangkung dan bertenaga besar. Sementara buat Bunda, Si Cempe sudah sangat memenuhi kenyamanan. Sadelnya empuk, jangkauan setangnya juga pas. Tiap sepeda ada giginya buat ganti kecepatan. Punya si Cempe sempet diutak utik sama Bunda buat ganti-ganti performa, daaan tetap nyaman :)

Sepedanya juga berlampu, jadi kalau mo make si Abel/ si Cempe malem-malem nggak perlu kuatir. Waktu pinjem dibawain rantai plus gemboknya, juga satu set kunci buat nyetel tinggi dudukan yang waktu itu nggak kepake karena entah gimana  setelannya si Abel udah pas sama Ayah dan setelan dudukan si Cempe pas buat Bunda. Jadi pas mo berangkat tinggal gowes aja :)

Kalo di Jogja wajarnya yang naik sepeda kan mbah-mbah, atau anak muda mahasiswa UGM baru yang mau nggak mau harus bawa sepeda ke kampus. 

Sayangnya nggak ada helm yang buat baby, jadi buat pelindung kepala sama matanya Mahes masih cuma pake topi aja plus jaket ber-hood.

Jadi rencana Bunda ngenalin asyiknya bersepeda buat Mahes berhasil. Dan saking senengnya Mahes kalo di ajak naik sepeda, pas sepedanya diambil sama Mb Melly, Mahes ngeliatin terus dengan tatapan: “mo dibawa kemana sepada aku?” Sampe Mb Melly merasa bersalah. qkqkqk..

Efek lain dari pinjem sepeda waktu, eyang sama Om nya Mahes ikutan excited trus jadi pengin punya sepeda lagi. Yess! :D

Be different doesn’t mean stranger. Enjoying things may bring fresh air to others :D

Ternyata bersepeda kemana-mana menyenangkan, apalagi untuk ukuran Kota Jogja yang bisa dibilang tidak terlalu luas kalau cuma mau puter-puter di dalam kota aja :D

Makasih Tante Inu sama Tante Melly buat pinjaman sepedanya :D 
Makasih Abel dan Cempe yang sudah menemani liburan kami kemarin :)

Yup, make Abel sama Cempe ternyata asyik. Jadi pengin cepet-cepet punya sepeda deh :)
Hmmm….next time sepedaan kemana ya? ^_-        

Ditulis oleh: Niswatul Azizah 

0 Comments

    Blog si Woles

    Ide, kisah, serta paket promo Si Woles bisa dijumpai di sini. 

    Arsip

    September 2014
    March 2014
    February 2014
    January 2014
    December 2013
    November 2013
    October 2013
    April 2013
    November 2012
    August 2012
    July 2012

    Kategori

    All
    Info Paket Wisata
    Kata Mereka
    Paket Wisata
    Rute Si Woles

    RSS Feed

Powered by Create your own unique website with customizable templates.