Si Woles: Sewa & Wisata Sepeda di Jogja
  • Beranda
  • Sewa sepeda
    • Jenis sepeda
    • Biaya sewa sepeda
    • Syarat & cara sewa sepeda
    • Antar jemput sepeda
  • Tentang kami
    • Kontak kami
  • ENGLISH

Membelah Jogja dengan Sepeda: Milas – Masjid Kampus UGM – Klinik Kopi

19/11/2013

0 Comments

 
Hampir 20 km perjalanan hari ini kami tempuh dengan bersepeda. Menyusuri pusat berkumpulnya turis-turis di selatan hingga tempat praktik atau klinik dokter kopi di tengah “hutan” jati di utara. 
Picture
Rute jelajah Si Woles membelah Jogja
Resto Milas

“Waduh, berarti dari kecil aku udah makan racun donk. Lha minumnya susu bubuk,” ujar saya sembari membaca brosur tentang Susu Sapi Murni buatan Javaraya Milk. Brosur itu didapatkan Mbak Mel dari Pasar Organik Milas yang berada di bagian muka restoran Milas.

Setiap Rabu dan Sabtu pk. 09.00 – 12.00, Restoran Milas, yang berlokasi di Jl. Prawirotaman 4, menyediakan ruang untuk para produsen dan penjual produk-produk pangan lokal & organik. Beragam produk dijajakan, mulai dari yang mentah hingga olahan. Ada sayur mayur, getuk, selai, susu pasteurisasi, yoghurt, keripik, jamu, madu, dan masih banyak lagi. 
Picture
Aneka produk yang dijual di pasar organik Milas
Saya terlambat datang saat itu. Mbak Mel, Mbak Olip, dan Mbak Lany sudah menggenjot sepeda lebih dulu. Mereka menghabiskan cukup banyak waktu berbincang-bincang dengan para penjual di pasar organik Milas. Sementara saya kebagian mencicipi getuk enak yang kebetulan dibagikan gratis karena pasar sudah tutup.
Picture
Suasana pasar organik Milas
Tak terasa waktu sudah menunjukkan jam 1 lewat. Artinya, Resto Milas sudah bisa disambangi untuk kami rehat duduk-duduk sambil menikmati makan siang. Kebetulan saat itu, para penjaja 'pasar' tampak bersiap untuk pulang.

Di dalam Milas, kami memilih bersantai di bawah pohon dengan mebel berupa kursi dari ban bekas & meja bundar yang terbilang mini -untuk menampung pesanan dari empat orang-. Pengalaman berkunjung ke pasar organik Milas untuk pertama kalinya menjadi salah satu topik utama pembicaraan. Meskipun menetap di Jogja sudah hampir sembilan tahun, tapi tak menjadikan saya kenal dengan Jogja. Buktinya pasar organik Milas ini keberadaannya baru saya ketahui belakangan ini. Ternyata sebuah pasar yang sangat menarik. Ada banyak informasi yang bisa membantu menentukan pilihan konsumsi untuk hidup yang lebih sehat dan punya keberpihakan.

Potongan kecil roti isi “daging” tempe dengan sayur mendarat di mulut saya. Saya mengunyah pelan untuk mengidentifikasi jenis rasa yang dikenali oleh indera pengecap saya. “Daging” tempenya terasa tapi terlalu datar di lidah Sumatera saya. Tak ada pedas sama sekali. Roti pelapisnya enak dan bukan pabrikan. Itulah yang bisa saya deskripsikan dari menu burger tempe yang saya pesan. Burger tempe ditemani dengan kentang goreng –yang saya yakini bukan kentang dingin yang dijual di supermarket- dan sambal tomat buatan sendiri. Sambal tomat berwarna merah dan lebih encer dibandingkan sambal botol. Meskipun disebut sebagai sambal, namun rasanya jauh sekali dari pedas. Malah cenderung manis namun lebih segar.
Picture
Aneka makanan yang kami pesan di Milas: Burger Tempe, Bakmi Jawa & Capcay.
Hampir seluruh menu yang kami pesan cenderung memiliki rasa yang datar. Mungkin saja karena restoran Milas merupakan restoran vegetarian jadi penggunaan garam pun dikurangi. Mungkin pula karena pelanggan restoran Milas didominasi oleh orang asing, sehingga rasa yang diciptakan pun tak sama dengan rasa Indonesia yang kaya rempah. Jadi  jangan segan untuk meminta garam atau merica tambahan jika rasa yang didapatkan belum mantap.

Menjelang pk. 15.00 kami pun bergegas meninggalkan Milas yang nyaman untuk nggowes ke utara. Tujuan berikutnya ialah Klinik Kopi di Gejayan. 

Masjid Kampus UGM

Masjid Kampus UGM menjadi titik peristirahatan kami. Di samping menunaikan kewajiban, di sini kami juga meluruskan kaki dan sedikit mengisi tenaga untuk nggowes  ke titik selanjutnya.

Dibangun di atas lahan yang dahulu pernah menjadi pekuburan Cina, masjid Kampus UGM  menjadi masjid kampus terbesar se-Asia Tenggara (menurut gudeg.net). Saya juga baru tahu informasi ini. Soal arsitektur menurut beberapa info yang saya baca, masjid Kampus UGM mengadopsi beragama gaya. Keberadaan kolam di sisi timur seperti meniru elemen arsitektur Taj Mahal. Sementara itu ornamen di sekeliling bangunan masjid yang berwarna merah muda dan emas mencitrakan arsitektur Tionghoa. Unsur Jawa hadir dalam kubah masjid yang berbentuk limasan. Ornamen kaca di lantai dua masjid mengingatkan saya pada surya Majapahit. 


Picture
Kolam masjid kampus UGM
Energi sudah bertambah sedikit setelah leyeh-leyeh di dalam masjid. Kami mencicipi rute bersepeda di dalam kampus UGM. Teringat pernyataan seorang teman tentang pilihan kuliah di UGM. Menurut dia keberadaan jalur sepeda di –beberapa tempat di- kampus UGM menjadi salah satu daya tarik memilih UGM sebagai tempat menimba ilmu.

Bersepeda di lingkungan kampus UGM, terutama di jalur bundaran Filsafat menuju kampus Kedokteran Hewan memang cukup nyaman. Pepohonan rindang di sisi kanan dan kiri cukup membantu meredakan lelah saat menggowes. Medannya pun terbilang landai. Jadi, untuk sementara saya bisa mengamini pernyataan teman tersebut.

Rujak Es Krim

Sebelum menemui Jl. Gejayan, kami mampir sebentar di warung rujak es krim tepi Selokan Mataram. Rujak es krim di depan Fakultas Kedokteran Hewan UGM ini menjadi salah satu tempat yang ditawarkan oleh Si Woles untuk dikunjungi. Wajar saja, kuliner yang satu ini sejauh ini hanya bisa dijumpai di Jogja. 


Rujak es krim terdiri dari buah bengkoang, mangga muda, jambu, nanas, kedondong, dan timun. Sebenarnya tergantung musim juga. Semua buah tersebut dipotong kecil dan tipis tak beraturan lalu dibalur saus rujak (gula jawa, kacang, dan cabai) dengan tingkat kepedasan sesuai selera. Di bagian atasnya diberi es putar. Sebagai sentuhan akhir, susu kental manis cokelat dituangkan di atas es putar membentuk kurva tak beraturan. Rujak es krip pun siap untuk disantap :D

Menu rujak es krim ini meskipun tak menghilangkan dahaga setelah bersepeda namun cukup menambah energi. Kesegaran ganda didapatkan dalam semangkuk rujak es krim, buah segar dan es putar yang semriwing. 

Picture
Menikmati rujak es krim
Klinik Kopi

Titik akhir ini diawali dari cerita Mbak Ellie, seorang penyewa dari Jakarta. Kisah tentang Klinik Kopi yang dirangkai Mbak Ellie membuat kami begitu penasaran. Kebetulan Mbak Olip, Mbak Lany, dan saya termasuk  penggemar kopi. Maka tak ada salahnya jika kami menjajal sendiri kisah yang diceritakan oleh Mbak Ellie.

Untuk menuju Klinik Kopi cukup mudah. Dari Jl. Gejayan, masuk gang setelah toko buku Toga Mas. Jalan konblok akan menuntun kita ke kawasan hutan jati milik Universitas Sanata Dharma (di sebelah kiri jalan). Di tengah hutan jati itulah terdapat sebuah bangunan kayu berlantai dua tempat klinik kopi berada.

Ada satu rombongan yang sedang konsultasi dengan Mas Pepeng, dokter di Klinik Kopi. Sembari menunggu, kami leyeh-leyeh dan mendokumentasikan suasana. Lokasinya cocok untuk nggarap tugas akhir :D. Damai, tenang, alami, dan yang terpenting dipenuhi oleh aroma kopi.

Giliran kami tiba. Kami duduk berjajar layaknya pasien yang menemui dokter. Menurut cerita Mbak Ellie, pasien akan diberi pertanyaan seputar kopi yang sering dikonsumsi. Namun, karena sore ini Mas Pepeng sedang tak akur dengan mesin penggiling kopinya maka tak banyak diagnosis yang dihasilkan. Bahkan saya langsung ditanya ingin mencicipi kopi dari daerah mana. 
Picture
Jadi pasien Mas Pepeng si dokter kopi
Sambil meracik kopi pesanan beberapa temannya, Mas Pepeng menunjukkan infografis kaitan rasa asam dan pahit kopi dengan lama penggorengan serta titik didih penyajian. Ia melakukan riset mandiri tentang kopi. Pun sama halnya dengan mengumpulkan biji kopi dari seluruh nusantara. Semua berdasarkan pada kecintaannya pada kopi. Kopi menjadi “agama” bagi Mas Pepeng.

Saya mencicipi kopi Bajawa. Menurut Mas Pepeng, Bajawa memberikan cita rasa paling pahit dari semua kopi yang disediakan di atas meja praktiknya. Aroma kopi cukup kuat. Rasa pahit yang kencang menyisakan sedikit asam di bagian akhir. Begitu yang saya ingat dari kopi Bajawa. Mbak Mel yang tidak menyukai kopi saya paksa untuk mencicipinya. “Yeks,” reaksi spontan darinya.

Yang membuat saya sedikit kurang puas di klinik ini ialah minimnya informasi tentang budaya kopi di Indonesia. Padahal kopi sebagai produk andalan tanam paksa menjadi primadona yang mampu membentuk budaya masyarakat kita. Lain tempat lain pula budaya mengolah & minum kopinya. Setelah singgah di markasnya dokter kopi pastinya saya mengharapkan informasi lebih tentang kopi Indonesia. Bukan hanya memandang kopi sebagai objek melainkan subjek yang memegang peranan penting di dalam sebuah struktur masyarakat. Ya, lagi-lagi itu hanya harapan saya :)

Picture
Aneka kopi hasil "perburuan" Mas Pepeng
Nggowes Pulang ke Taman Siswa

Seusai menghabiskan secangkir kopi lokal di Klinik Kopi, kami menggowes sepeda pulang ke rumah. Hari sudah gelap dan kami harus lebih berhati-hati. Mbak Olip, sebagai sosok yang tidak sporty, sudah mengalami kemajuan pesat setelah bersepeda seharian ini. Meskipun hasrat melipir ke kanan –tengah jalan- masih besar, namun saya beri empat jempol untuk ketrampilan Mbak Olip bersepeda di jalan raya. Hebat. Dua kali turun ke jalan saya rasa ia sudah bisa bersepeda mandiri keliling Jogja. Tak perlu lagi pengawalan khusus :D

Hari ini kami nggowes ala Si Woles. Santai sekali. Kami mengunjungi tempat-tempat yang sesuai dengan minat. Dari siang hingga petang, hampir 20 km terlampaui. Kota Jogja yang kecil ini memang patut dijelajahi dengan sepeda :D

Picture
Peserta gowes trip Si Woles :) [19 Oktober 2013]
Sumber baca2 :)
http://edukasi.kompas.com/read/2011/11/06/17102038/Berkunjung.ke.Kampus.Biru.UGM
http://gudeg.net/id/directory/31/1426/Masjid-Kampus-UGM.html#.UnuzSHBSjfI
0 Comments

Bersepeda Itu Woles Sajalah

14/10/2013

0 Comments

 
Dengan sepeda mini putih milik Abang, saya berkelana menjelajahi desa kelahiran Ibu di Bantul. Sepeda itu mendadak menjadi milik saya ketika Abang tak singgah di rumah Simbah. Jadi saya bisa menggunakannya sepuas hati. Turun ke jalan, masuk ke kebun, bahkan berkeliling hingga pusing di dalam pendopo rumah Simbah yang luasnya dua kali lapangan basket. Kira-kira seperti itu potongan ingatan saya ketika bersepeda di Bantul semasa kecil dulu.

Kini saya kembali bersepeda di desa Ibu. Kali ini tentu tidak ditemani oleh si putih karena ukurannya yang tak cocok lagi dengan tubuh saya. Selain itu saya tak pernah melihatnya. Mungkin ia hilang atau sudah dirosokkan. Saya meminjam sepeda milik sepupu. Kembali menjelajahi desa dengan penduduk yang mulai mengotakan lingkungannya.

Kesempatan bersepeda itu datang dari seorang teman baru, Mbak Dori. Mbak Dori merupakan teman dekat Mbak Mel yang menjadi rekan saya di Si Woles. Ia datang dari jauh untuk melihat sawah dengan sepeda. Terserah sawah di mana saja yang penting masih masuk wilayah Jogja. Permintaan sederhana yang sangat keterlaluan jika tak bisa Mbak Mel dan saya penuhi.

Maka kami pun mengajak Ruci turut serta. Memang hanya Ruci karena sepeda yang lain tak bisa dilipat untuk dibawa ke Bantul. Dengan begitu Ruci menambah jam terbang jelajah setelah sebelumnya menemani perjalanan saya menyusuri Selokan Mataram arah barat.

Picture
Si Ruci yang tampak ganteng. Siapa bilang sepeda lipat tak mampu menaklukkan jalanan yang tak mulus seperti ini?
Saya sengaja tak ikut campur dalam menentukan rute. Tak tebersit keinginan untuk mengajak Mbak Mel dan Mbak Dori untuk menapaktilasi rute bersepeda saya semasa kecil. Semua saya serahkan kepada mereka untuk memilihnya. Karena perjalanan bersepeda kali ini ialah perjalanan ala Si Woles J

Kami bersepeda ke barat, menuju pusat cinderamata Kasongan. Namun kami tak menuju jalan utama tempat toko-toko cinderamata berada. Kami justru melipir mencicipi jalan-jalan makadam dengan beberapa rumah penduduk dan sawah di kanan dan kirinya.

Mulanya kami melewati rumah penduduk dengan aktivitas di halaman depan. Mereka sedang menyelesaikan dekorasi tembikar menggunakan ornamen berbahan kayu kelapa. Sebuah bentuk baru yang saya jumpai. Ornamen itu berbentuk bunga yang kemudian ditempelkan di badan tembikar.

Sempat juga kami melewati rumah dengan penghuni yang sedang mengaso di terasnya. Mereka sangat ramah membalas salam kami. Sebuah kehangatan yang mulai langka dijumpai di Jogja.

Mbak Dori yang memimpin perjalanan memotong jalan aspal dan masuk ke jalan kecil di antara sawah. Terik matahari begitu terasa di sini. Tak ada pepohonan yang menaungi. Untungnya kiriman angin yang datang sesekali mampu sedikit menepis panasnya cuaca siang itu.

Picture
Mbak Dori & Ruci
Tak ada tujuan khusus di sawah ini. Mbak Dori hanya memilih tempat untuk mengabadikan momen. Saya sok yakin bahwa itu menjadi salah satu momen berharganya. Dia dipotret bersama sepeda di tengah hamparan sawah berlatar perbukitan. Amboi. 

Pemotretan tak berlangsung lama. Mbak Dori kembali memimpin jalan. Kali ini menuju jalan pulang. Ia mengincar tempat duduk di tepi jalan di dekat rumah Bude. Tempat duduk itu disusun dari bambu. Jika leyeh-leyeh di sana maka hijaunya sawah terhampar di depan mata. Sesekali motor berkecepaan tinggi yang dikendarai anak-anak, anak muda, atau bapak-bapak melintas. Banyak juga anak-anak sekolah yang menggowes sepedanya. Ah, menyenangkan.

Picture
Tempat leyeh-leyeh yang sudah diincar sejak awal perjalanan
Saya memilih berbaring hingga terlelap. Sementara itu Mbak Dori bercakap-cakap dengan Mbak Mel. Tak berapa lama saya dibangunkan untuk pulang. Singkat sekali perjalanan bersepeda kali ini.

Bersepeda santai tanpa rentetan jadwal acara seperti itu ternyata mengasyikkan juga. Yang ingin mencoba gaya bersepeda seperti ini haruslah terbebas dari segala macam ambisi. Ambisi tentang rute, titik tujuan, penggalian informasi, dan kuliner sepertinya harus ditiadakan sejenak. Yang terpenting itu saya dan sepedanya. Saya bisa mengayuh sepeda sebebas-bebasnya. Saya beristirahat, bercakap-cakap, dan bersantap jika ingin. (Inu)

0 Comments

Keliling Yogya cara selow

17/11/2012

7 Comments

 
Picture
Menyusuri Jogja di pagi hari @Jl. Mangkubumi
Menjelajah kota adalah salah satu cara berwisata yang saya dan anak semata wayang gemari.  Tidak sekedar mendatangi obyek-obyek wisata, tapi mengalami kota seperti layaknya warga lokal menjalani kesehariannya. Dalam sebuah kesempatan berkunjung ke Kota Yogyakarta belum lama  berselang, kami sepakat untuk mencoba berkeliling Yogya dengan naik sepeda.

Perjalanan sehari penuh kami nikmati dengan santai, tanpa tergesa-gesa, atau selow dalam bahasa walikan yang asal katanya slow. Catatan perjalanan bersepeda sejauh 20 km tersebut, lengkap dengan segala detailnya kami tuliskan di sini, untuk mengajak Anda ikut menikmati kota dengan cara yang berbeda. 

Persiapan
Sebelum meninggalkan ibukota, kami sudah melakukan booking online sepeda sewaan lewat situs siwoles.weebly.com. Uniknya, seluruh sepeda sewaan milik Si Woles dilengkapi nama beserta deskripsinya. Sehingga penyewa bisa langsung memilih sepeda yang disukai saat booking. Berhubung awam dengan lika-liku jalan di Yogya dan akan bersepeda bersama anak yang insyaAllah baru akan genap 9 tahun bulan depan, kami sekaligus minta ditemani pemandu dari Si Woles.
Picture
Bersiap untuk woles
Sarapan di Malioboro
Jam tangan masih menunjukkan pukul 05:30 WIB, namun hari sudah terang. Saya beserta anak dan seorang pemandu bersiap memulai perjalanan. Saya mengendarai si Cempe, anak kami, Kaysan, memilih si Ruci, sedangkan sang pemandu yang juga sahabat baik kami, sudah siap di atas si Momo. Seorang teman dengan sepedanya sendiri turut bergabung pagi itu untuk sarapan. Standar sewa sepeda di Si Woles sudah termasuk helm dan kunci. Bahkan bagi penyewa dengan anak balita, juga tersedia persewaan boncengan anak.

Perjalanan di hari Senin pagi, 29 Oktober 2012, di mulai dari tempat kami menginap di daerah Karangjati, Jl. Monjali (sedikit melewati perbatasan Kota Yogya dan Kabupaten Sleman). Rencananya kami akan bersepeda ke arah selatan melewati Stasiun Tugu menuju Malioboro untuk sarapan di Pasar Beringharjo.

Picture
Suasana jalanan yang masih sepi @Jl. Monjali
Lalu lintas relatif masih sepi sepanjang Jl. Monjali. Tak lama kemudian kami memasuki jalur lambat Jl. Pangeran Mangkubumi, salah satu jalur yang memang khusus diperuntukkan bagi kendaraan tidak bermotor hingga ujung Jl. Malioboro. Nyaman sekali bersepeda di jalur lambat Malioboro kala pagi. Seluruh toko masih tutup, PKL pun belum mulai menggelar dagangannya. Jalur lambat bersih dari kendaraan bermotor para pembeli yang biasa parkir. Sepanjang jalan, beberapa kali kami berpapasan dengan anak sekolah yang bersepeda. 

Jarak sekitar 5 km hingga Benteng Vredeburg kami tempuh tanpa terlalu berpeluh karena medan yang terus menurun. Setelah sepeda kami kunci di area parkir benteng, saya pikir kami akan langsung menuju Pasar Beringharjo. Tapi ternyata pemandu mengajak kami untuk duduk-duduk dulu di salah satu bangku di kawasan pedestrian depan benteng.

Sembari duduk-duduk di pedestrian, kami mengamati dan menikmati kesibukan kota di pagi hari. Mulai dari  TransJogja yang melintas kosong, anak sekolah yang mengendarai sepedanya, petugas kebersihan yang menyapu jalan, hingga sampah apa saja yang dihasilkan warga kota ini.

Picture
Bersama Mbah Marto @depan Benteng Vredeburg
Seorang kakek tua bertongkat tampak berjalan tertatih-tatih menuju tempat kami duduk. Ketika dekat, beliau spontan merengkuh kepala Kaysan dengan lembut, sembari mengucap doa. Tak kurang dari 15 menit akhirnya kami berbincang-bincang hangat dengan si Mbah yang bernama Marto. Tak sedikit petuah dan doa keluar dari mulut Mbah Marto untuk kami. Terima kasih Mbah, semoga berlimpah berkah kebaikan untuk Mbah.

Usut punya usut ternyata inilah ciri khas dari berwisata ala si Woles, yang berbunyi Selow kalau dibaca terbalik. Di balik usaha sewa sepeda, ternyata Si Woles ingin mengajak para pelancong yang acapkali tergesa-gesa, terjebak ritme kejar setoran layaknya kerja, untuk menurunkan tempo. Pelancong diajak kembali menikmati perjalanan dengan cara santai atau pelan-pelan, sembari membangun kontak dengan tempat yang tengah dikunjungi.  

Picture
Menikmati sarapan soto sapi Bu Pujo @Pasar Beringharjo
Selepas berbincang dengan si Mbah, kami berjalan santai menuju Pasar Beringharjo, naik dari pintu selatan ke lantai 2 tempat kios-kios makanan. Kami memilih kios soto daging dan es campur Ibu Pujo, rekomendasi pemandu kami. Ternyata saat waktu menunjukkan pukul 07:00 WIB, di mana kami adalah pengunjung pertama, pemilik kios masih menunggu daging masakannya empuk.

Kami pun mulai dengan minum es campur, yang lebih mirip dengan es cincau hijau bersirup merah yang biasa dijajakan di jalanan Jakarta, tapi yang ini ditambah campuran kelapa muda. Tak berapa lama soto pun dihidangkan. Entah kenapa nasi soto dan es campur terasa nikmat sekali di pagi itu. Hingga beberapa kali Kaysan berkomentar, “Bu, ini sotonya enak banget!” Kami pun tak perlu merogoh kocek terlalu dalam, cukup Rp 10 ribu untuk semangkuk nasi soto dan segelas es campur.

Setelah perut kenyang, kami kembali bersepeda menuju Karangjati melewati rute yang sama. Hanya saja sepanjang perjalanan pulang, kami harus konsisten menggowes karena kali ini jalan terus menanjak. Lalu lintas juga mulai lebih ramai dibanding ketika berangkat. Sekitar pukul 08:30 WIB kami sampai di Karangjati.

Taman Bacaan Bledug Mrapi Nandan
Rehat dan baring-baring sekitar 30 menit sudah cukup untuk mengembalikan tenaga. Kami putuskan untuk segera menuju tujuan berikutnya, yaitu Taman Bacaan Anak Bledug Merapi. Sengaja kami singgah, karena penasaran ingin melihat langsung dan belajar taman bacaan yang sukses mengelola mahasiswa sebagai relawannya.

Lokasi Bledug Merapi sekitar 2 km ke arah utara dari tempat menginap kami di Karangjati. Kami tiba sekitar pukul 09:15 WIB, disambut Mas Dwiki, relawan yang tengah bertugas menjaga taman bacaan. Bledug Merapi buka setiap hari mulai pukul 09:00 -17:00 WIB. Kaysan langsung memilih buku dan menemukan posisi wenak di depan jendela. 
Picture
Berwisata sambil belajar mengelola taman bacaan di Taman Bacaan Bledug Merapi
Tak lama berselang masuk Mbak Dian yang baru pulang dari percetakan membawa leaflet Bledug Merapi. Beruntung kami bisa bertemu dan belajar banyak dari Mbak Dian yang bersama sang suami merupakan pendiri, pemilik, dan pengelola Bledug Merapi. Terima kasih untuk ilmunya Mbak Dian.


Hutan Mini UGM
Selepas dari Bledug Merapi kami lanjut bersepeda ke arah UGM sekitar 2,7 km. Baru kali ini saya sadar kalau kawasan UGM berada di Kabupaten Sleman, bukan Kota Yogyakarta. Ketika kami mencapai bundaran Pasca UGM (Jl. Kesehatan), mulai terdengar ramai suara burung. Jalanan juga tampak tertutup selubung putih, tumpukan kotoran burung.

Kami putuskan untuk masuk ke dalam kampus UGM, mencari sumber bunyi tersebut. Ternyata di balik Jl. Kesehatan tersembunyi hutan mini (arboretum) Fakultas Biologi UGM seluas 0,5 ha. Hutan ini bukan satu-satunya di UGM, masih ada satu lagi hutan mini seluas 0,9 ha milik Fakultas Kehutanan. Keduanya merupakan surga bagi burung-burung urban.
Picture
Mengamati burung-burung urban @hutan mini UGM
Kami sempat mengamati beberapa burung cangak abu (Ardea cinerea) terbang melintas. Ujung pohon-pohon besar yang menjulang tampak dipenuhi oleh sarangnya. Ledakan populasi burung sejenis juga sempat kami amati hingga tahun 2010 di sepanjang Jl. Ganesha, Bandung. Kami lebih sering memanggilnya burung blekok kala itu. Namun entah apa yang terjadi, belakangan ini Jl. Ganesha sudah bersih dari burung cangak abu. 

Rujak es krim
Tak terasa matahari sudah tepat di atas kepala, kami memutuskan untuk istirahat sejenak. Adzan terdengar berkumandang. Untuk melepas lelah, kami memilih kios rujak es krim pinggir jalan di Jl. Bougenville (depan Fakultas Kedokteran Hewan UGM) yang jaraknya sekitar 1,3 km dari hutan mini. Baru kali ini kami mencicipi potongan buah yang dirajah kecil-kecil, diberi bumbu rujak,dan dipadu dengan es puter.

Awalnya karena belum yakin akan rasanya, maka saya dan Kaysan sepakat hanya memesan  satu mangkok untuk berdua. Wah ternyata luar biasa maknyusssss. Cocok sekali dimakan di tengah udara panas. Kaysan menikmati hingga tetes penghabisan, diangkat mangkoknya, untuk diseruput. Saya yang sama sekali tidak dapat kesempatan mencicipi, terpaksa pesan satu mangkok lagi. 

Di kios rujak ini kami sempat janjian bertemu Rani, teman yang dulu sempat di Jakarta, tapi kini lebih memilih tinggal di Yogya.  Rani pesan lotis dan ketika datang ternyata inilah rujak yang selama ini saya kenal. Potongan aneka buah lebar-lebar dengan bumbu rujak yang dimakan dengan dicolek. Semangkok rujak es krim atau pun lotis dibandrol dengan harga Rp 5 ribu saja.
Picture
Menikmati jajanan khas Jogja, es krim rujak @depan Fakultas Kedokteran Hewan UGM
Persewaan sepeda UGM
Sewaktu masuk kampus UGM menuju hutan mini, hal pertama yang menarik perhatian kami adalah pos peminjaman sepeda. Di situ berjajar lebih dari 10 buah sepeda berwarna biru, lengkap dengan keranjang. Kami melewati beberapa pos peminjaman sepeda lainnya saat menyusuri lembah sepanjang Jl. Olahraga, melewati University Club, hingga pintu utama Kampus UGM.

Jalan-jalan di dalam kampus juga dilengkapi jalur khusus sepeda yang dibatasi garis putus-putus. Beberapa mahasiswa tampak memanfaatkan sepeda sewaan. Ada juga mahasiswa yang naik sepedanya sendiri. Senang sekali bisa merasakan nyamannya bersepeda di dalam Kampus UGM. Dengan fasilitas bersepeda sebaik itu, agak heran juga melihat masih banyak yang naik motor di dalam kampus.


Perpustakaan Kota
Keluar dari Kampus UGM, kami melanjutkan perjalanan menuju Perpustakaan Kota yang terletak di kawasan Kota Baru. Kami menyusuri Jl. Cik Di Tiro, melewati RS Panti Rapih dan RS Mata Dr. Yap. Pemandu kami sempat berhenti sebentar di seberang bangunan tinggalan kolonial yang tampak megah terawat. Ternyata gedung tersebut adalah gedung RS Mata Dr. Yap, yang dibangun oleh seorang dokter mata filantrop di masa pra kemerdekaan yang bernama lengkap Yap Hong Tjoen. Menurut pemandu kami, di dalam RS tersebut terdapat Museum Dr. Yap, sayang kami belum bisa mampir kali ini.

Sepanjang Jl. Cik Di Tiro sebenarnya masih tersedia jalur khusus sepeda, hanya sayangnya tertutup oleh barisan mobil yang parkir paralel di tepi jalan, terutama di daerah RS Panti Rapih. Kami masih lanjut bersepeda menyeberangi perempatan Jl. Sudirman, menuju Jl. Suroto. Setelah menempuh jarak sekitar 2,7 km dari kios rujak, kami sampai di Perpustakaan Kota Yogyakarta yang berada di pojok jalan antara Jl. Suroto dan Jl. Sabirin.
Picture
Air galon isi ulang GRATIS @Perpus Kota Jogja
Gedung perpustakaan bertingkat dua dan dilengkapi parkir sepeda tersebut tampak ramai dengan pengunjung. Sebagian pengunjung duduk dengan laptopnya di halaman,di bawah saung-saung yang dilengkapi wi-fi. Begitu masuk, langsung terasa sejuknya ruang dalam perpustakaan yang berpendingin ruangan.

Setelah menitipkan tas dan helm sepeda, pandangan kami tertahan pada dispenser dan gelas yang disediakan gratis untuk pengunjung. Luar biasa ada fasilitas air minum di ruang publik. Wah langsung kami mengisi penuh botol minum kami yang sudah menipis. Sungguh ini sebuah insentif bagi pengunjung yang rajin bawa botol minum sendiri. 

Kali ini kami langsung ke lantai 2 menuju ruang baca anak. Kombinasi karpet dan sofa empuk begitu menggoda kami untuk baca sambil tidur-tiduran. Kaysan langsung asyik memilih bacaan dan  pemandu kami sibuk berinternet di sudut ruang. Sementara saya tidur-tiduran baca majalah sampai tertidur sungguhan menunggu Kaysan yang tidak mau beranjak dari perpustakaan.

Berhubung hari makin siang dan kami belum makan siang, dengan berat hati kami harus bergerak. Sebelum pergi, kami sempat menggunakan toilet perpustakaan yang luar biasa bersih. Sungguh salut untuk Pemkot Yogya dengan Perpustakaan Kota-nya yang benar-benar bermanfaat bagi warga.

Picture
Berwoles ria di Perpus Kota, sebuah perpus yang bersahabat
Kota Baru dan House of Raminten
Perjalanan kami menjelajahi Yogya ditutup dengan makan siang di House of Raminten yang masih berada di kawasan Kota Baru. Lokasinya hanya sekitar 500 m dari Perpustakaan Kota.

Sewaktu menjelajahi kawasan Kota Baru, nuansa tata kota dan arsitekturnya sangat terasa berkonsep sama dengan kawasan Menteng di Jakarta ataupun Dago di Bandung.

Ternyata pemilik House of Raminten di Jl. FM Noto No. 7 yang kami kunjungi tersebut sama dengan pemilik Toko Mirota, toko batik dan oleh-oleh Yogya dengan harga pas yang terkenal di ujung selatan Jl. Malioboro. Memasuki bangunan kayu berwarna gelap House of Raminten terasa sekali atmosfer jawa yang kental. Juga kenyentrikan serta rasa humor yang tinggi dari pemiliknya. 

Harga makanan dan minuman terasa bersahabat dengan kantong. Cukup siapkan 20 ribu rupiah per orang untuk sepiring nasi dengan ayam serta minuman dingin. Untuk rasa tidak terlalu spesial. Tapi Kaysan yang memesan ayam koteka sampai bertanya, “Ibu bisa masaknya nggak di rumah?”. Menu yang satu ini, campuran daging ayam cincang dengan telur berbumbu mirip pepesan yang dibakar dalam bambu, saya rekomendasikan untuk Anda coba.
Picture
Menu ayam koteka dan suasana @Raminten
Perjalanan pulang
Waktu sudah menunjukkan pukul 16:00 WIB ketika kami rampung makan siang. Kami pun meninggalkan kawasan Kota Baru menempuh jarak sekitar 3 km kembali ke Karangjati untuk bersiap pulang ke Jakarta. Lalu lintas sore hari cukup padat, barangkali karena bertepatan dengan waktu pulang kantor.

Luar biasa lega rasanya saat menginjakan kaki kembali di Karangjati. Terus terang selama perjalanan hati saya ketar-ketir karena membawa anak. Ini pengalaman pertama saya bersepeda di Yogya. Saya sama sekali tidak punya bayangan seberapa sabar pengendara kendaraan bermotor di Kota Yogya.

Tapi alhamdulillah selama di perjalanan bisa dibilang saya tidak mendengar klakson tak sabar dari pengendara mobil atau motor. Mereka cukup sabar menunggu kami berbelok di persimpangan. Bahkan di persimpangan besar saya perhatikan tersedia ruang tunggu sepeda yang berwarna hijau. Pengendara mobil dan motor cukup disiplin untuk tidak masuk ke ruang tersebut. 
Picture
Pengalaman pertama menggunakan ruang tunggu sepeda @Jogja
Satu-satunya hal yang sangat mengganggu dan membahayakan kami adalah kebiasan pengendara motor melipir di sisi kiri jalan kami dari arah berlawanan. Tidak hanya sekali dua kali saya berpapasan. Sungguh tak habis pikir, padahal mudah sekali untuk menyeberang dan berjalan di arah yang benar.

"Luar biasa menyenangkan dan sama sekali tidak melelahkan," ujar Kaysan, ketika saya tanyakan pendapatnya di akhir perjalanan. Padahal kalau dijumlahkan, jarak yang kami tempuh di hari tersebut mencapai 20 km.

Rendahnya jumlah pesepeda di Kota Yogya
Agak kaget juga saya selama perjalanan menjumpai jumlah pesepeda di Yogya tidak sebanyak dugaan. Padahal jarak terjauh dari ring road utara ke selatan saja tak lebih dari 10 km. Tampaknya warga Yogya sudah kecanduan naik motor. “Bisa dikatakan hampir setiap rumah tangga di Yogya punya sepeda motor”, ungkap pemandu kami. Wah sayang sekali, padahal fasilitas bagi pesepeda sudah begitu jauh lebih memadai dibanding Jakarta.

Semoga dikunjungan berikutnya saya bisa bertemu lebih banyak pesepeda di jalan-jalan Kota Yogya. Mengintip di situs resmi BPS Kota Yogyakarta tercatat di tahun 2009/2010 ada sekitar 50 ribu mahasiswa di Kota Yogya (di luar UGM yang masuk Kab. Sleman). Bila setengahnya bersepeda, berarti akan ada 25 ribu pesepeda di Kota Yogya.

Penutup
Menulis catatan perjalanan kali ini berikut segala detailnya terasa begitu mengalir dan mudah. Masih terekam jelas dalam ingatan apa yang kami alami, walaupun saya tidak mencatat secara khusus. Tentunya karena kami menjalaninya tanpa tergesa-gesa atau selow. Meresapinya sebagai sebuah proses mengalami kota. Bukan sekedar mengejar obyek wisata untuk berfoto. 

Rute jelajah yang ditawarkan Si Woles dapat disesuaikan dengan minat pelancong dan juga bisa dilakukan lebih dari satu hari. Ketika kami memesan sepeda, sempat ditawarkan pilihan untuk membelah Kota Yogya dari utara ke selatan, melewati Tugu, Malioboro, keraton sampai daerah Krapyak di selatan Kota Yogya. Atau bisa juga menyusuri Selokan Mataram melewati sawah-sawah ke arah barat atau timur. Bahkan bila ke timur bisa sampai komplek Candi  Prambanan dan sekitarnya. Hanya saja karena mengukur kemampuan anak, kami memilih rute yang tidak terlalu jauh dan berat.

Situs Si Woles juga memuat catatan tempat-tempat yang menarik untuk dikunjungi. Anda bisa memanfaatkannya untuk merencanakan rute sendiri dan bersepeda tanpa perlu bantuan pemandu. Bila Anda tersesat, tidak perlu khawatir karena itu akan menjadi bagian dari proses menikmati perjalanan itu sendiri, asalkan Anda tidak tergesa-gesa.

Ditulis oleh: Shanty Syahril, ibu seorang anak, tinggal di Jakarta.

Catatan:

Jarak tempuh (sumber: google map)
Karangjati (Jl. Monjali) - Benteng Vredeburg             5 km (pp 10 km)
Karangjati - Bledug Mrapi Nandan                              2 km
Bledug Mrapi Nandan - Hutan Mini UGM                   2,7 km
Hutan Mini UGM - Rujak Es Krim Jl. Bougenville     1,3 km
Rujak Es Krim - Perpustakaan Kota                           2,7 km
Perpustakaan Kota - House of Raminten                  0,5 km
House of Raminten - Karangjati                                  3 km

Makan
Alokasi sekitar Rp 50 ribu/orang sudah lebih dari cukup untuk makan minum selama perjalanan satu hari.

Sewa sepeda
Selama masa promosi hingga 31 Desember 2012, sewa sepeda dari Si Woles seharga 25 ribu/24 jam. Untuk jasa pemandu sebesar 100 ribu/hari/ orang (10 jam), sudah termasuk biaya sewa sepeda. Untuk kelompok dengan jumlah peserta maksimal 5 orang, biaya pemandu Rp 250 ribu (belum termasuk biaya sewa sepeda). 
Picture
Peta rute pagi & siang hari
7 Comments

    Blog si Woles

    Ide, kisah, serta paket promo Si Woles bisa dijumpai di sini. 

    Arsip

    September 2014
    March 2014
    February 2014
    January 2014
    December 2013
    November 2013
    October 2013
    April 2013
    November 2012
    August 2012
    July 2012

    Kategori

    All
    Info Paket Wisata
    Kata Mereka
    Paket Wisata
    Rute Si Woles

    RSS Feed

Powered by Create your own unique website with customizable templates.