
Di depan Stasiun Tugu (Foto: Deni Akbar)
Yogyakarta selalu memiliki hal-hal menarik yang membuat siapa pun yang pernah berkunjung, untuk datang kembali dan menikmati setiap sudut kotanya. Salah satunya adalah saya. Dan ini adalah kali ketiga saya untuk menikmati kota ini. Alasannya cukup simpel, hanya isenk-isenk saja dan ingin jalan-jalan. Dan ternyata hal ini bertepatan dengan Valentrain, sebuah program promo dari PT. KAI untuk menyambut hari kasih sayang, valentine.
Mulailah cari tanggal yang pas, yang sesuai dengan schedule kantor. Dan waktu yang tepat ternyata di hari Sabtu sore, dan pulang di Minggu paginya. Sangat singkat, dan mungkin terkesan gila. Tapi dis analah serunya, mengatur waktu yang singkat untuk menikmati kota Yogya dan saya memilih untuk bersepeda.
Keraguan mulai muncul untuk cari sepeda. “Kira-kira ada apa nggak ya, rental sepeda yang buka di jam 2 pagi?” tanya saya dalam hati. It’s googling time, dan akhirnya ada beberapa rekomendasi rental sepeda. Coba telepon untuk booking tapi mayoritas rental sepeda hanya buka sampai jam 10 malam. Dan nggak ada yang buka sampai jam 2 pagi. “Waduh, bisa gagal nih,” pikiran saya terus bertanya.
Googling lagi, dan akhirnya ada satu forum yang sedang bahas tempat sewa sepeda di Yogya. Dan ketemulah siwoles. Sempat ragu, tapi harus coba. Dan tersambunglah saya dengan Mbak Inu. Dan saya coba confirm untuk sewa sepeda di hari minggu pagi jam 2. Terdengar aneh, dan sedikit ragu. Itu yang saya dengar dari nada suara Mbak Inu. Tapi akhirnya disanggupi. Ternyata ada layanan antar-jemputnya juga, bolehlah untuk minta diantar ke stasiun Tugu Yogya.
Cuma ada sau kata “KEREN” ternyata ada sewa sepeda yang mau menyanggupi request pelanggan dan yang terpenting rela buka sampai jam 2 pagi, diantar pula lagi.
Dan akhirnya, tepat pukul 00.45 pagi, saya tiba di Stasiun Tugu Yogyakarta. Sudah gak sabar untuk menikmati suasana Yogya di tengah malam. Karena faktor keamanan, akhirnya saya dan mbak inu janjian untuk ketemu jam 3 pagi di depan miniatur lokomotif dekat pintu perlintasan kereta malioboro. Waktu masih menunjukkan pukul 01.00, suasana stasiun tugu sangat hening, terlihat beberapa penumpang sedang menunggu kereta yang akan membawa mereka menuju Surabaya, Malang atau kota-kota lain di Jawa Timur. Beberapa pedagang pun tertidur pulas, ada yang tidur dibangku-bangku kosong dan sebagian lagi terlelap di pelataran peron stasiun.
Sementara saya, sibuk googling untuk menyambangi tempat yang masih ramai di tengah malam, tentunya selain titik nol kilometer dan alun-alun kidul. Dan ternyata ada, Sarkem.. tapi nggak recomended lah. “So, yaa.. sudah, kemana aja lah yang penting gowes” pikir saya.
Satu sms masuk, dan ternyata dari Mba Inu, beliau sudah otw ke Stasiun Tugu, padahal jam masih di angka 02.45. Sangat tepat sekali. Saya segera bergegas menuju miniatur lokomotif. Banyak mobil pribadi dan taksi yang parkir di depan Stasiun Tugu menunggu penumpang atau menjemput saudara yang hendak berkunjung ke Yogya. Beberapa tukang becak tertidur di jok penumpang, dengan posisi seadanya. Walaupun gak terlihat uwenak dan pastinya kalo saya yang tidur di sana, besok pagi sudah sakit badan. Tapi mereka tetap menikmati waktu istirahat ada.
Sempat duduk sebentar di depan miniatur lokomotif dan selang lima menit kemudian, ada dua orang, yang satu naik motor dan yang satunya lagi naik sepeda. “Kayaknya ini, yang namanya Mba Inu”.
Dan benar, “Deni ya..?” tanyanya, dan saya meng-iya-kan. Ngobrol sebentar mengenai tempat excited malam di Yogya dan kemungkinan adanya kuliner yang masih buka di pagi buta. dan kami pun serah terima sepeda, lagi-lagi saya terkagum.
Safety riding sangat dijunjung tinggi sama Si Woles, safety light ada di depan dan belakang sepeda, kabel pengaman sepeda, plus helm hitam yang makin bikin penyewa merasa aman, dan tentunya sepeda jenis MTB dengan settingan shock yang soft, gak bakal bikin tangan terasa pegel. Dan saya juga buat janji untuk ketemu lagi ditempat yang sama besok pagi jam 8.
Mulailah cari tanggal yang pas, yang sesuai dengan schedule kantor. Dan waktu yang tepat ternyata di hari Sabtu sore, dan pulang di Minggu paginya. Sangat singkat, dan mungkin terkesan gila. Tapi dis analah serunya, mengatur waktu yang singkat untuk menikmati kota Yogya dan saya memilih untuk bersepeda.
Keraguan mulai muncul untuk cari sepeda. “Kira-kira ada apa nggak ya, rental sepeda yang buka di jam 2 pagi?” tanya saya dalam hati. It’s googling time, dan akhirnya ada beberapa rekomendasi rental sepeda. Coba telepon untuk booking tapi mayoritas rental sepeda hanya buka sampai jam 10 malam. Dan nggak ada yang buka sampai jam 2 pagi. “Waduh, bisa gagal nih,” pikiran saya terus bertanya.
Googling lagi, dan akhirnya ada satu forum yang sedang bahas tempat sewa sepeda di Yogya. Dan ketemulah siwoles. Sempat ragu, tapi harus coba. Dan tersambunglah saya dengan Mbak Inu. Dan saya coba confirm untuk sewa sepeda di hari minggu pagi jam 2. Terdengar aneh, dan sedikit ragu. Itu yang saya dengar dari nada suara Mbak Inu. Tapi akhirnya disanggupi. Ternyata ada layanan antar-jemputnya juga, bolehlah untuk minta diantar ke stasiun Tugu Yogya.
Cuma ada sau kata “KEREN” ternyata ada sewa sepeda yang mau menyanggupi request pelanggan dan yang terpenting rela buka sampai jam 2 pagi, diantar pula lagi.
Dan akhirnya, tepat pukul 00.45 pagi, saya tiba di Stasiun Tugu Yogyakarta. Sudah gak sabar untuk menikmati suasana Yogya di tengah malam. Karena faktor keamanan, akhirnya saya dan mbak inu janjian untuk ketemu jam 3 pagi di depan miniatur lokomotif dekat pintu perlintasan kereta malioboro. Waktu masih menunjukkan pukul 01.00, suasana stasiun tugu sangat hening, terlihat beberapa penumpang sedang menunggu kereta yang akan membawa mereka menuju Surabaya, Malang atau kota-kota lain di Jawa Timur. Beberapa pedagang pun tertidur pulas, ada yang tidur dibangku-bangku kosong dan sebagian lagi terlelap di pelataran peron stasiun.
Sementara saya, sibuk googling untuk menyambangi tempat yang masih ramai di tengah malam, tentunya selain titik nol kilometer dan alun-alun kidul. Dan ternyata ada, Sarkem.. tapi nggak recomended lah. “So, yaa.. sudah, kemana aja lah yang penting gowes” pikir saya.
Satu sms masuk, dan ternyata dari Mba Inu, beliau sudah otw ke Stasiun Tugu, padahal jam masih di angka 02.45. Sangat tepat sekali. Saya segera bergegas menuju miniatur lokomotif. Banyak mobil pribadi dan taksi yang parkir di depan Stasiun Tugu menunggu penumpang atau menjemput saudara yang hendak berkunjung ke Yogya. Beberapa tukang becak tertidur di jok penumpang, dengan posisi seadanya. Walaupun gak terlihat uwenak dan pastinya kalo saya yang tidur di sana, besok pagi sudah sakit badan. Tapi mereka tetap menikmati waktu istirahat ada.
Sempat duduk sebentar di depan miniatur lokomotif dan selang lima menit kemudian, ada dua orang, yang satu naik motor dan yang satunya lagi naik sepeda. “Kayaknya ini, yang namanya Mba Inu”.
Dan benar, “Deni ya..?” tanyanya, dan saya meng-iya-kan. Ngobrol sebentar mengenai tempat excited malam di Yogya dan kemungkinan adanya kuliner yang masih buka di pagi buta. dan kami pun serah terima sepeda, lagi-lagi saya terkagum.
Safety riding sangat dijunjung tinggi sama Si Woles, safety light ada di depan dan belakang sepeda, kabel pengaman sepeda, plus helm hitam yang makin bikin penyewa merasa aman, dan tentunya sepeda jenis MTB dengan settingan shock yang soft, gak bakal bikin tangan terasa pegel. Dan saya juga buat janji untuk ketemu lagi ditempat yang sama besok pagi jam 8.

Suasana Malioboro saat jam 3 pagi (Foto: Deni Akbar)
Mulailah saya menikmati Kota Yogya di pagi buta. Kawasan Malioboro yang kalau di siang hari sangat ramai dengan para pedagang dan wisatawan, kini terlihat sepi. Jalanan sangat lengang, ada beberapa orang yang mengabadikan Malioboro sambil bernarsis ria bersama kawan ditemani beberapa lesehan yang masih buka hingga pagi tapi sayang sekali, tampaknya saya belum berjodoh dengan kopi joss Le Man.
Pasar beringharjo yang sangat ramai di siang hari, juga terlihat sepi. Mungkin kalau di kasih lighting yang bagus, pasar ini punya pesona tersendiri. Karena bangunannya yang masih tergolong berarsitektur kuno pastinya akan sangat memanjakan mata. Namun ada yang beda juga di sepanjang Malioboro. Saya tidak melihat kelap-kelip lampu di pinggir jalan. Kenapa kah? Padahal lampu itu yang bikin suasana makin bagus. Mungkin faktor hemat listrik atau kalo di pagi buta sudah dimatikan. Mungkinnn...
Pasar beringharjo yang sangat ramai di siang hari, juga terlihat sepi. Mungkin kalau di kasih lighting yang bagus, pasar ini punya pesona tersendiri. Karena bangunannya yang masih tergolong berarsitektur kuno pastinya akan sangat memanjakan mata. Namun ada yang beda juga di sepanjang Malioboro. Saya tidak melihat kelap-kelip lampu di pinggir jalan. Kenapa kah? Padahal lampu itu yang bikin suasana makin bagus. Mungkin faktor hemat listrik atau kalo di pagi buta sudah dimatikan. Mungkinnn...

Pendar cahaya di titik Nol Kilometer (Foto: Deni Akbar)
Selanjutnya titik Nol Kilometer, banyak para muda-mudi yang menghabiskan waktu di sana, dan sepertinya inilah tempat yang selalu hidup, di kala tempat-tempat lain terlelap. Lighting dari dua bangunan yang sangat indah yaitu Bank Indonesia dan Kantor Pos membuat mata ini masih full 100 persen tanpa rasa kantuk. Dan pastinya tertib lalu lintas.
Inilah salah satu pesona Yogya. Walaupun suasana jalan sepi dan kosong, para pengendara akan mematuhi lampu lalu lintas yang menyala. Padahal kalau diterobos, ya bisa..bisa saja. Wong jalan juga sepi. Tapi di sinilah pesonanya.
Lurus terus, dan saya sampai di Alun-alun Utara. Jam di handphone menunjukkan pukul 03.20. Suasana agak gelap, ada beberapa tenda kecil berwarna putih berjejer di lapangan alun-alun, tampaknya sedang ada event dari pabrikan otomotif terkemuka di negeri ini. Tapi tetaplah suasana hening, hanya warung kopi yang masih buka, sementara warung-warung cenderamata dan warung lainnya tutup dengan penutup terpal biru dan terkesan seadanya.
Saya putar balik di depan Masjid Keraton, untuk selanjutnya menuju Alun-alun Kidul. Katanya ini juga salah satu tempat yang hidup 24 jam nonstop. Dengan bantuan GPS, saya gowes melewati titik Nol Kilometer yang masih tetap saja ramai.
Suasana malam yang hening terasa sangat nyaman sekali untuk menikmati setiap sudut kotanya, hingga gak terasa saya sudah sampai di Alun-alun Kidul. Pintu gerbang yang menyerupai benteng dengan terowongan di bawahnya seakan mengucapkan selamat datang pada setiap pengunjung yang menyinggahinya. Dengan tambahan lighting yang berwarna-warni, menambah pesona gerbang ini.
Inilah salah satu pesona Yogya. Walaupun suasana jalan sepi dan kosong, para pengendara akan mematuhi lampu lalu lintas yang menyala. Padahal kalau diterobos, ya bisa..bisa saja. Wong jalan juga sepi. Tapi di sinilah pesonanya.
Lurus terus, dan saya sampai di Alun-alun Utara. Jam di handphone menunjukkan pukul 03.20. Suasana agak gelap, ada beberapa tenda kecil berwarna putih berjejer di lapangan alun-alun, tampaknya sedang ada event dari pabrikan otomotif terkemuka di negeri ini. Tapi tetaplah suasana hening, hanya warung kopi yang masih buka, sementara warung-warung cenderamata dan warung lainnya tutup dengan penutup terpal biru dan terkesan seadanya.
Saya putar balik di depan Masjid Keraton, untuk selanjutnya menuju Alun-alun Kidul. Katanya ini juga salah satu tempat yang hidup 24 jam nonstop. Dengan bantuan GPS, saya gowes melewati titik Nol Kilometer yang masih tetap saja ramai.
Suasana malam yang hening terasa sangat nyaman sekali untuk menikmati setiap sudut kotanya, hingga gak terasa saya sudah sampai di Alun-alun Kidul. Pintu gerbang yang menyerupai benteng dengan terowongan di bawahnya seakan mengucapkan selamat datang pada setiap pengunjung yang menyinggahinya. Dengan tambahan lighting yang berwarna-warni, menambah pesona gerbang ini.
Dan benar saja, Alun-alun Kidul yang luasnya lebih kecil dari Alun-alun Utara, dengan ikon pohon beringin kembar di tengahnya masih tetap ramai. Ada beberapa motor yang berjejer parkir di pinggir lapangan dan beberapa pedagang yang mulai menutup warungnya. Saya hanya berkeliling saja dan terus melanjutkan perjalanan kembali menuju titik nol.
Selama perjalanan, sudah mulai terlihat beberapa warga yang mengangkut barang bawaan untuk dijual di pasar, surau-surau pun sudah mulai bersuara membangunkan warga sekitar untuk segera melaksanakan sholat subuh. Melewati kembali titik nol, yang mulai terlihat sepi saya memutuskan untuk sholat subuh di Masjid Keraton, sambil melepas lelah sebentar.
Tak terasa mentari mulai menampakkan cahayanya, saatnya cari sarapan pagi. Ada beberapa rekomendasi. Dari mulai gudeg, soto ayam kampung dan bubur ayam. Tapi saya memutuskan untuk ke warung Soto Kadipiro di Jalan Wates, dan berharap sudah buka karena masih terlalu pagi. Dan ternyata benar saja, warung Soto Kadipiro masih tertutup rapat.
Dan akhirnya saya putar balik ke arah Stasiun Tugu dan mampir di Soto Pak Gareng. Sebenarnya soto Pak Gareng hampir sama dengan soto pada umumnya, hanya saja nasi yang biasa dipisah dengan soto, di warung soto ini nasi dijadikan satu dengan sotonya, plus tambahan lethuk, sejenis singkong yang mirip dengan uli goreng. Rasa sotonya pas dan gak terlalu kuat. Tapi, ramuan rempah-rempah yang tidak terlalu gurih, membuat lidah terasa nyaman saat mencicipinya. Dan inilah alasan utama orang-orang tuk singgah di warung ini.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan jam 07.45, saatnya kembalikan sepeda dan saya back to Jakarta. Yogya, selalu memiliki pesona. Walaupun hanya sebentar tapi saya tetap menikmatinya. See you later...
Ditulis oleh: Deni Akbar, pelanggan Si Woles dari Jakarta.
Selama perjalanan, sudah mulai terlihat beberapa warga yang mengangkut barang bawaan untuk dijual di pasar, surau-surau pun sudah mulai bersuara membangunkan warga sekitar untuk segera melaksanakan sholat subuh. Melewati kembali titik nol, yang mulai terlihat sepi saya memutuskan untuk sholat subuh di Masjid Keraton, sambil melepas lelah sebentar.
Tak terasa mentari mulai menampakkan cahayanya, saatnya cari sarapan pagi. Ada beberapa rekomendasi. Dari mulai gudeg, soto ayam kampung dan bubur ayam. Tapi saya memutuskan untuk ke warung Soto Kadipiro di Jalan Wates, dan berharap sudah buka karena masih terlalu pagi. Dan ternyata benar saja, warung Soto Kadipiro masih tertutup rapat.
Dan akhirnya saya putar balik ke arah Stasiun Tugu dan mampir di Soto Pak Gareng. Sebenarnya soto Pak Gareng hampir sama dengan soto pada umumnya, hanya saja nasi yang biasa dipisah dengan soto, di warung soto ini nasi dijadikan satu dengan sotonya, plus tambahan lethuk, sejenis singkong yang mirip dengan uli goreng. Rasa sotonya pas dan gak terlalu kuat. Tapi, ramuan rempah-rempah yang tidak terlalu gurih, membuat lidah terasa nyaman saat mencicipinya. Dan inilah alasan utama orang-orang tuk singgah di warung ini.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan jam 07.45, saatnya kembalikan sepeda dan saya back to Jakarta. Yogya, selalu memiliki pesona. Walaupun hanya sebentar tapi saya tetap menikmatinya. See you later...
Ditulis oleh: Deni Akbar, pelanggan Si Woles dari Jakarta.