Si Woles: Sewa & Wisata Sepeda di Jogja
  • Beranda
  • Sewa sepeda
    • Jenis sepeda
    • Biaya sewa sepeda
    • Syarat & cara sewa sepeda
    • Antar jemput sepeda
  • Tentang kami
    • Kontak kami
  • ENGLISH

Rute Sepeda Terbaik Dunia

8/9/2014

1 Comment

 
Gemar berkayuh dengan kereta angin untuk menjaga kebugaran tubuh atau sekadar menikmati keindahan alam? Coba rute terbaik ini.


Anda gemar mengayuh sepeda untuk menjaga kebugaran tubuh atau sekadar menikmati keindahan alam? Tak ada salahnya coba rute terbaik ini.

Berikut 10 rute bersepeda terbaik versi NATIONAL GEOGRAPHIC.

La Route Verte, Kanada. Rute sepeda terbaru di daerah ini melintasi Provinsi Quebec. Membentang dari timur ke barat dengan jarak tempuh sekitar 2.485 mil atau 4.000 kilometer, dipenuhi pemandangan pedesaan. Rute ini menjadi favorit pesepeda karena petunjuk arah yang jelas dan banyaknya bangunan menarik. Seperti sungai St. Lawrence membentang panjang dan indahnya pemandangan pegunungan di Laurentides.

Underground Railroad Bicyele Route, Amerika dan Kanada. The Adventure Association mengembangkan rute dari Mobile, Alabama, Owen Sound, dan Ontario. Pengembangan ini untuk menghormati keberanian para budak mencapai kebebasan. Terdapat lima segmen yang totalnya berjarak 2.057 mil atau 3.310 kilometer. Daya tarik utama rute ini ialah bangunan sejarah tinggalan budak seperti pasar.

Ruta Austral, Cili. Rute menantang menghadang pesepeda karena Ruta Aistral, jalannya tidak beraspal dan berkerikil. Rute ini berjarak 810 mil atau 1.300 kilometer dari Puerto Monttt, bagian tengah Cili, Caleta Yungay di selatan hinga Villa O’Higgins di utara Patagonia yang terkenal dengan kapal fery yang berlabuh. Pesepeda akan menemui rute liar dengan pemandangan indah termasuk Taman Nasional Quelat dan Cerro Castillo. Hamparan hutan asli dengan tumbuhan pakis dapat ditemui di Puyuhuapi Hot Springs, dekat Queulat.

Munda Biddi, Australia Barat. Dalam bahasa Aborigin, Munda Biddi berarti jalan menuju hutan. Rute sepeda ini akan melintasi jarrah forest, di mana pohon kayu putih tumbuh –eucalyptus trees-. Jarak sepanjang 332 kilometer di tempuh dari daerah Mundaring hingga Collie, rute ini baru dibuka Juli 2004 lalu. Saat bersepeda, mungkin Anda akan menjumpai wallaby, kangguru, dan berbagai hewan khas setempat.

Hanoi-Ho Chi Minh, Vietnam. Jika Anda menyukai sepeda dan pantai, datanglah ke sini. Rute sepanjang 746 mil atau 1.200 kilometer menghubungkan dua kota terbesar di Vietnam, akan membawa Anda pada keindahan pesisir pantai berpasir.

Gran Fondo Campagnolo, Italia. Sesaat setelah mulai bersepeda, Anda akan langsung dihadang tanjakan dan pegunungan. Anda bisa ‘mendaki’ lebih dari 13.780 kaki (4.200 meter).

Luchon-Boyonne, Prancis.  Tour de France melewati pegunungan tinggi untuk pertama kalinya di tahun 1910. Bahkan pemenang di tahun itu menempuh jarak 325 kilometer dengan waktu 14 jam, melewati pegunungan di Luchon dan berakhir di Boyonne. Melintaasi rute ini, maka sama saja Anda harus mendaki empat ‘puncak’ yakni the Peyresourde, Aspin, Tourmalet, dan Aubisque.

Route du Comte Jean, Belgia. Dikenal sebagai Vlaanderen Fietsroute, rute ini akan menyusuri jalanan kota yang penuh kendaraan. Rute ini mempunyai jarak tempuh 137 mil atau 220 kilometer yang bermula dari Bruges hingga Perancis bagian utara. Tidak ada pegunungan yang perlu ditanjak, namun angin pantai yang kuatlah tantangannya.

Land’s End-John O’Groats, Inggris. Jarak tempuh rute ini tergantung jalur mana yang Anda pilih, bisa 900 mil (1.450 kilometer) atau lebih. Terpaan angin akan menyambut Anda selama bersepeda.

Cape Argus Pick ‘n Pay Cycle Tour, Afrika Selatan. Dengan rute sepanjang 68 mil atau setara 109 kilometer, Cape Argus pernah menjadi rute bagi 35.000 pesepeda. Di akhir jalur sepeda ini, Anda bisa menemukan deretan karang pantai dan Table Mountain National Park.

(Buku Journeys of a Lifetime-National Geographic Traveler)

Sumber: nationalgeographic.co.id

1 Comment

The secret ingredient for a safer bike helmet: paper

25/3/2014

1 Comment

 
Picture
Could a paper helmet (L) offer more protection than polystyrene (R)?
Lying flat in the middle of the road doesn't usually inspire a eureka moment. But for one man, having a potentially serious bike accident got him thinking about a new future for helmet design.

"I was riding my bike down a hill, wearing a helmet and a guy opened his car door," says Anirudha Surabhi, who lives in London.

"I hit the door, did a couple of somersaults and fell straight on my head. My helmet was completely cracked, completely unusable."

Luckily for him, Anirudha was able to walk away from the accident with whiplash and mild concussion.

But the sight of his mangled helmet got the then design student thinking about new ways of protecting cyclists.

His unusual solution was to substitute the standard polystyrene design with intricately engineered paper - a decision that's already proving to be a hit with bike-lovers.

But how can paper be safer? And what else can it offer to the future of head protection?

Feel the force

"The danger with falling off your bike is that you subject your head to a dramatic change of speed in just a fraction of a second," says Jolyon Carroll, a safety researcher at the UK's Transport Research Laboratory.

"When you hit the pavement your hard skull will stop or decelerate quickly. However, being a relatively soft organ, your brain tends to keep going. If you imagine dropping a blancmange onto a plate then you can see how bits at the back start compressing and piling up against other bits of brain at the front," he told the BBC.

"It's this action that puts you at risk of injury - from breaking blood vessels to damaging brain tissue."

The basic idea behind cycle helmets is to create a mini crumple zone - a bit like you'd find in a car - that absorbs some of the energy and gives your skull and brain more time to slow down before coming to a stop.

Those extra few milliseconds can reduce the amount of compression in the brain and potentially make the difference between brain damage and a mild case of concussion.

At the moment, the material used to protect us in a crash is polystyrene.

But Anirudha Surabhi isn't convinced that it's the best choice for the job.

Instead, he decided to look to the natural world for inspiration.

"The animal that stood out was the woodpecker. It pecks at about ten times per second and every time it pecks it sustains the same amount of force as us crashing at 50 miles per hour," says Surabhi.

"It's the only bird in the world where the skull and the beak are completely disjointed, and there's a soft corrugated cartilage in the middle that absorbs all the impact and stops it from getting a headache."

Paper power


In order to mimic the woodpecker's crumple zone, Anirudha turned to a cheap and easily accessible source - paper.

He engineered it into a double-layer of honeycomb that could then be cut and constructed into a functioning helmet.

"What you end up with is with tiny little airbags throughout the helmet," he says.

"So when you have a crash, what these airbags do is they go pop, pop, pop, pop, pop - and they go all the way to the bottom, without the helmet cracking. That's what absorbs the energy. "

The paper design has been tested to European standards, and when compared to a standard polystyrene helmet, the results are impressive.

"If you crash at 15 miles per hour in a normal helmet, your head will be subjected to around 220G [G-force], whereas the new design absorbs more of the impact and means you experience around 70G instead," says Surabhi.

To put that into context, international safety standards recognise that to avoid serious brain damage, a person must not be exposed to impact forces above 300G.

This means that while a polystyrene helmet helps you to avoid fatal or serious head injury, the paper helmet will give your head more time to slow down and potentially lower the risk of even less serious injuries like concussion.

A no-brainer?

Anirudha's paper helmet is already in the shops and joins a growing range of innovative alternatives to the polystyrene model.

He also has new ideas in the pipeline for his honeycomb design, including a flat-pack version suitable for cyclists using city bike hire schemes.

Of course, debate still rages over whether helmets really help protect cyclists at all - with arguments ranging from the ineffectiveness of polystyrene to the mere act of wearing a helmet encouraging cyclists to take more risks and drivers to be less cautious.

But an independent review by the Transport Research Laboratory in 2009 found that assuming they are worn correctly, cycle helmets should be effective at reducing the risk of head injury.

As wearing cycle helmets is not compulsory in the UK, then the choice is down to the individual rider.

But will that choice really stretch to paper helmets?

"I think the public will accept it because if you think about it, stuntmen have been jumping onto cardboard boxes for decades, which are all made out of paper," says Anirudha Surabhi.

"They risk their lives from five-storey buildings purely because they know that paper actually works."

Source: www.bbc.com (12 January 2014)
1 Comment

Naik Pesawat Garuda Bawa Sepeda Tak Kena Biaya

23/3/2014

0 Comments

 
Seorang teman bercerita pada saya bahwa berwisata sambil membawa sepeda itu asik. Dia mencontohkan ke Bali misalnya dengan membawa sepeda, kita bisa turing dengan sepeda sekaligus menghemat biaya sewa kendaraan. Karena ke mana-mana tinggal gowes aja. Namun dia mengeluhkan bahwa membawa sepeda ke pesawat itu agak ribet dan agak mahal. Karena selain harus menyiapkan tas khusus untuk membawa sepeda, biaya tambahan biasanya juga akan dikenakan. Apalagi jika saat naik pesawat yang dibawa lebih dari satu sepeda.

Tapi itu masalah dulu, sekarang masalah itu sudah ada jalan keluarnya. Bagi mereka yang memiliki hobi seperti kawan saya yaitu: berwisata berkeliling Indonesia sambil bawa sepeda, ada kabar baik terkait hal itu.

Sekarang jika anda ingin naik pesawat sambil membawa sepeda, anda tak perlu khawatir lagi dengan biaya tambahan yang biasanya dikenakan. Tapi anda harus naik pesawat Garuda Indonesia. Karena baru maskapai ini yang menerapkan kebijakan tersebut.

Kebijakan Garuda Indonesia yang menguntungkan pesepeda itu tertuang dalam Memorandum of Understanding (MoU) antara PT Garuda Indonesia Tbk (Persero) dengan Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Penandatanganan MoU ini dilakukan di Kantor Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, pada hari Selasa, 21 Februari 2012.

Tak hanya sepeda yang bebas biaya diangkut Garuda ke daerah-daerah tujuan wisata Indonesia, papa selancar juga mendapat keistimewaan serupa: bebas biaya tambahan. Direktur Utama Garuda Indonesia, Emirsyah Satar, seperti dikutip kompas mengatakan terobosan ini dilakukan agar sport tourism berjalan lancar.

Emirsyah, yang dikenal juga hobi bersepeda ini, mengatakan pasar kebijakan ini adalah kalangan remaja dan anak muda yang menyukai bersepeda dan berselancar. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu juga berpendapat senada, dia ingin anak muda lebih mengenal daerah wisata di negerinya sendiri.

Kabar ini tentunya merupakan kabar baik untuk para pesepeda. Apalagi selama ini banyak pesepeda yang suka berpergian dengan pesawat mengeluhkan biaya tambahan untuk sepeda yang dibawanya. Kini dengan terobosan Garuda tersebut telah menemukan solusinya. Karena cukup banyak juga pesepeda yang suka berpergian dengan pesawat ke berbagai kawasan wisata Indonesia.

Selain itu, kebijakan ini juga tidak hanya berdampak pada kunjungan wisata saja, namun juga mendukung kegiatan bersepeda. Ini adalah langkah positif pemerintah dalam mendukung kegiatan positif yaitu bersepeda.

Semoga apa yang dibuat Garuda ini juga menginspirasi maskapai lainnya untuk membuat hal serupa. Biar makin banyak orang mau bersepeda dan membawa sepeda ke tempat-tempat wisata.

Sumber: www.ceritasepeda.com (29 Februari 2012)
0 Comments

Peta Google untuk Para Pesepeda

25/2/2014

0 Comments

 
Picture
Peta adalah sebuah alat yang penting bagi mereka yang beraktivitas di luar ruangan, tak terkecuali bagi para pesepeda. Pesepeda membutuhkan peta untuk menyusuri jalan atau rute yang belum dikenalnya. Ini penting agar tidak salah jalan atau tersesat. Jika dahulu kala peta berbentuk gambaran di selembar kertas, kini dengan kemajuan teknologi, peta pun berubah ke bentuk digital. Mulai dari perangkat khusus GPS sampai aplikasi peta di smartphone.

Salah satu aplikasi peta yang paling terkenal dan paling banyak digunakan adalah peta bikinan Google alias Google Maps. Peta Google ini sangat membantu banyak orang, karena dengan Google Maps orang bisa punya peta digital tanpa harus bayar mahal untuk beli sebuah GPS. Karena peta Google bisa diunduh gratis, hara smartphone pun juga banyak yang terjangkau.

Tak hanya soal itu, peta Google banyak disukai karena sangat akurat. Dia juga menyediakan tampilan satelit, petunjuk arah atau navigasi ala perangkat GPS dan sebagainya. Pasti anda yang akrab dengan gadget pasti tahu apa saja kelebihan peta Google itu.

Terkait dengan Google Maps, ada kabar baik untuk para pesepeda. Setelah sebelumnya menyediakan navigasi untuk mobil, angkutan umum, dan pejalan kaki, kini Google Maps juga menyediakan navigasi untuk pesepeda. Seperti dilansir banyak media, fitur baru ini muncul dalam update terbaru Google Maps versi 6.11.1. Bisa juga dilihat di web Google.

Picture
Navigasi khusus pesepeda ini, memberikan jalur-jalur yang ramah bagi para pesepeda. Seperti halnya navigasi lainnya, Google Maps akan memberikan garis utuk diikuti pesepeda. Garis hijau ini akan menuntun pesepeda melalui jalur yang akan dilalui. Selain melihat peta itu, pesepeda bisa juga mendengarkan arahan dari headsetnya. Cukup banyak jalur sepeda yang sudah “ditandai” Google dan masuk databasenya. Raksasa internet ini mengklaim, lebih dari 330.000 mil data base jalur sepeda yang dikumpulkannya. Jalur ini membuat pesepeda bisa aman dari jalan curam, jalan berbahaya, dan jalan tak ramah lainnya. Bahkan Google juga membuat tampilan “street view” versi sepeda. Jika street view jalan dibuat dengan mobil, untuk versi sepeda Google membuat sepeda khusus roda tiga yang mengangkut alat perekam.

Fitur ini menunjukkan bahwa Google sangat pro terhadap sepeda dan gerakan ramah lingkungan atau “Go Green”. Fitur ini sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 2010 lalu, ketika Google Maps menambahkan navigasi khusus pesepeda di Amerika Serikat dan Kanada.

Sayangnya, fitur baru Google Maps ini baru ada di beberapa negara saja, yaitu selain AS, Kanada, dan 10 negara eropa yakni: Australia, Austria, Belgia, Denmark, Finlandia, Belanda, Norwegia, Swedia, Swis, dan Inggris. Untuk pesepeda di Indonesia, harus lebih bersabar lagi, karena barusan saya cek di Google Maps saya belum ada. Jadi pesepeda Indonesia belum bisa menikmati layanan ini.

Tapi terlepas dari itu, upaya Google yang pro pesepeda ini layak kita apresiasi. Tentunya sambil berharap pengguna peta Google di Indonesia segera dapat menikmatinya.

Source: www.ceritasepeda.com (31 Agustus 2012)

0 Comments

Merindukan Jalur Nyaman Sepeda di Jakarta

7/11/2013

0 Comments

 
Picture
TEMPO.CO, Jakarta - Hampir tiap pagi Dina Indri Hapsari mengayuh sepedanya ke tempat kerjanya di kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Dari rumahnya di Ciledug, wanita ini mesti menempuh jarak sekitar 13 kilometer.

"Butuh waktu sampai 60 menit untuk sampai kantor," kata Dina, sekretaris komunitas bike to work ini kepada Tempo beberapa waktu lalu. Waktu tempuh ini lebih cepat jika dibanding menggunakan angkutan umum atau kendaraan bermotor.

Dina mengatakan, banyak manfaat yang diperoleh dengan menggunakan sepeda sembari berangkat kerja, mulai dari badan yang lebih segar hingga badan tidak mudah sakit.

Sayang, tantangan gowes di Jakarta juga lumayan berat. Mulai dari kontur jalan hingga berebut dengan sepeda motor dan angkutan umum. Makanya, menurut Dina, banyak anggota komunitas yang berangkat pagi sekali.

Perasaan Dina ini mewakili sekitar 3.000 anggota komunitasbike to work di Jakarta. Bahkan mereka yang gowes di jalur sepeda pun musti bertarung dengan pemotor.

Saat ini DKI hanya memiliki dua jalur sepeda, di kawasan Melawai, Jakarta Selatan, dengan rute Taman Ayodia hingga Blok M sepanjang 1,5 kilomete, dan di kawasan Kanal Banjir Timur sepanjang 6,7 kilometer dari Jalan Basuki Rahmat hingga Jalan Sukamto.

Dina menutukan, peran pemerintah daerah sangat vital untuk memelihara jalur sepeda. Hanya, ia mahfum, saat ini untuk menambah jalur sepeda sudah sangat sulit, melihat jumlah kendaraan yang sudah sangat padat.

Dengan demikian, ia mengusulkan, minimal Pemerintah Daerah DKI Jakarta membuat kebijakan yang memfasilitasi pengguna sepeda di kawasan bisnis, seperti Jalan Sudirman hingga Thamrin, Kuningan, dan Kemang. "Jadi, orang yang mau ke gedung lain cukup gowes," katanya.

Direktur Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Indonesia, Yoga Adiwinarto, mengatakan sedang menyusun integrasi sepeda dengan angkutan masal. Konsep ini bernama bike sharing.

"Konsepnya meniru program serupa di Hangzhou, Cina," kata Yoga. Ia menjelaskan, secara umum, konsepnya mirip rental sepeda.

Masyarakat meminjam sepeda di terminal penyewaan untuk pergi ke lokasi tujuan. Hanyabike sharing ini dikelola dengan cara lebih modern.

Yoga menjelaskan, dalam bike sharing ini, ada terminal-terminal sepeda yang ditempatkan di dekat halte transportasi massal macam Transjakarta. Di dalam satu terminal minimal ada 20 sepeda. Untuk menyewa sepeda tersebut, masyarakat menggunakan fasilitas semacame-ticketing.

Tiket elektronik tersebut berisi data si pemegang kartu beserta saldo. Nantinya, mereka yang akan menggunakan sepeda tersebut tinggal menempelkan kartu itu di alat pemindai.

Dengan begitu, otomatis data si peminjam akan terekam. Di terminal ini juga dilengkapi papan informasi yang berisi daftar lokasi terminal-terminal yang ada, sehingga si peminjam tidak bingung di mana dia akan menggembalikan. Si peminjam tinggal mencari terminal terdekat dari tujuan.

Yoga mengatakan, akhir tahun ini akan ada uji coba. "Uji pertama ini akan dipusatkan di kawasan bisnis Kuningan," ujarnya. Sasarannya para pebisnis yang ada di kawasan tersebut.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengatakan bike sharing akan berjalan tahun depan. Menurut dia, saat ini rancangan lebih matang sedang disusun Badan Perencanaan Daerah.

"Akan dianggarkan tahun depan juga," ujarnya. Ia berharap, dengan program ini, masyarakat akan beralih menggunakan sepeda untuk perjalanan jarak dekat, misal antarkantor. Secara garis besar, ia sepakat dengan ide ITDP ini.

Sementara itu, Kepala Dinas Perhubungan Udar Pristono mengatakan akan menambah jalur sepeda di Kanal Banjir Timur sepanjang 15,3 kilometer. "Dalam waktu dekat akan ditambah ke arah Marunda, Jakarta Utara," katanya.

Ia menjelaskan ada tiga jenis jalur, yakni bike route, yang tidak memiliki marka dan bercampur dengan jalan umum; bike lane, memiliki marka jalur sepeda meski masih bercampur dengan jalan umum; bike path, yaitu jalur sepeda terpisah dengan jalan umum.


Sumber: tempo.co (5 Nov 2013)
0 Comments

Kotabaru Jadi Kawasan Ramah Sepeda Yogyakarta

6/11/2013

0 Comments

 
Picture
TEMPO.CO, Yogyakarta - Pemerintah Kota Yogyakarta menargetkan awal tahun 2014 mendatang kawasan Kotabaru akan menjadi pilot project area ramah sepeda. Pemerintah pun telah mengalokasikan anggaran Rp 180 juta guna menyiapkan kawasanramah sepeda itu. 

Proyek ini menggarap pembuatan jalur khusus dan ruang tunggu sepeda. Setidaknya ada 10 ruas utama yang akan disasar sebagai  kawasan ramah sepeda. Dengan tiga titik utama yakni Jalan Suroto, Jalan FX. Noto, dan Jalan Nyoman Oka.

Kepala Seksi Rekayasa Lalu Lintas Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta, Windarto menuturkan, dipilihkan Kotabaru sebagai pilot project karena, pertama kawasan itu merupakan salah satu area lembaga pendidikan. Kedua, di kawasan yang banyak peninggalan bangunan lawas itu cukup rindang berkat banyak pohon pohon berusia tua. Ketiga, belum banyak jalur yang dipakai sebagai lokasi parkir.

“Kami akan rekayasa jalur jalur sepeda dengan lebar sekitar 1,2 sampai 1,5 meter di ruas jalan Kotabaru agar pesepeda nyaman melintas kawasan itu,” kata Windarto, Ahad 3 November 2013.

Menurut dia, telah disiapkan desain agar kawasan itu nantinya juga memili sejumlah rambu khusus pesepeda. Seperti area penyeberangan juga marka jalan agar jalur utama pesepada tak diserobot kendaraan bermotor.

Toh Windarto mengatakan, pemerintah kota tak punya konsep untuk menjadikan kawasan Kotabaru sebagai kawasan sepeda. Sebab, kata dia, sejumlah jalan sudah terlanjur dikuasai oleh jalur kendaraan bermotor dan lahan parkir. Misalnya saja kawasan jalan C. Simanjuntak, Jalan Solo, atau Malioboro. “Di jalur jalur padat itu jika dibuatkan jalur sepeda akan muspro karena bakal direbut untuk parkir dan aktivitas kendaraan bermotor,” kata dia. Selain itu, juga perlu waktu lama untuk melakukan pendekatan dengan penghuni jalan agar jalur sepeda bisa diterapkan.

Menanggapi rencana itu, pegiat komunitas sepeda Jogja Last Friday Yoan Vallone mengapresiasi langkah pemerintah memulai proyek Kotabaru sebagai kawasan ramah sepeda. “Jangan sampai terjadi lagi proyek jalur sepeda ini mubazir seperti yang terjadi di Jalan Solo, yang malah dibuat sebagai batas parkir kendaraan bermotor oleh juru parkir,” kata dia. 

Sumber: tempo.co
0 Comments

Best bike-sharing cities in the world

10/10/2013

0 Comments

 
Picture
When Citi Bike rolled onto the streets of New York this Memorial Day, it was treated as a national event and even international media took notice.

In advance of the launch, one blog post on Le Monde's website crowed, "Vélib' to conquer America." (Vélib' is Paris's iconic bike share.)

The United States may be a little late to the game, but the business of European-style bike sharing isn't that old to begin with. In a 2003 paper for Transportation Quarterly, bike share expert Paul DeMaio, then a transportation planner for Alexandria, Va., identified three generations of public-use bike schemes, going back to 1968 in Amsterdam with the use of free so-called "White Bikes." (That program collapsed within days.)

THE ACTIVE TIMES: America's best bike vacation towns

The next major development was in Copenhagen, which introduced a coin-operated system in 1995 called Bycyklen, or "City Bike." For 17 years, these bikes zipped through the streets of Denmark's capital until the program was shut down late last year—it's getting an upgrade to third generation technology.

Sponsored by media giant Clear Channel, the French city of Rennes brought the next generation of bike share gadgetry to the world in 1998 by replacing coin operation with card access and electronic kiosks. From there the technology has progressed, picking up GPS and real-time tracking along the way, and has spread throughout Western Europe—and the world.

According to the Bike Sharing World Map, maintained by DeMaio and Russell Meddin of Bike Share Philadelphia, there are 553 bike share programs in operation worldwide and another 193 in planning or under construction.

And they're not just in Europe and North America.

The worldwide leader in bike sharing, as measured by the number of bikes, is China. According to data collected by the Earth Policy Institute, 20 of the 25 largest bike share programs are Chinese. Its largest one, in the city of Wuhan, has twice the number of bikes as all of France's shares combined.

THE ACTIVE TIMES: How to buy the best bike for you

Although most of the systems share several characteristics—bikes with low theft value, electronic docking stations, tiered payment scales—different cities are trying different ways to make bike sharing work.

With an eye towards highlighting the range and scale of the modern bike share boom, we picked 16 of the world's standout programs and decided to see how they stack up against each other.

The most important factor in our rankings wasn't the size of a program per se, but its size measured against the city's population. For example, Mexico City's 4,000 bikes may give it the third largest system in North America, but that's in a city of 8.9 million—over 2,000 people per bike!

This ratio becomes a stand-in for variables that are harder to quantify: How "open" is the system to all who might want to use it, and how integral is it to the life of the city (or country, as the case may be)?

We also considered four other categories: affordability, popularity, functionality/convenience, and the city's bike friendliness. We handily rolled those into a score—giving special weight to people per bike—and ended up with some unexpected results. Take a look!

THE ACTIVE TIMES: Bike and brew beer-cations

1. Hangzhou, China
Launched: 2008
Size: 2,965 stations / 69,750 bikes
Price: $32.61 deposit + time charge
Take a look at this city of 6.2 million near Shanghai, and you'll see what just may be the best bike share in the world. Although now second on the planet (and China) by size, the Hangzhou Public Bicycle system is one of the densest shares, and probably the most extensively used one, anywhere, largely because of its integration into public transit: a single card grants access to subway, bus, ferry, taxi and bike share. Residents and tourists alike can put down a deposit of 200 Chinese Yuan (about $33) and ride for an hour for free in this scenic city on the Yangtze Delta. Each additional hour is the equivalent of only $0.15—one reason why riders put in a quarter-million rides a day. It was also the first new-generation bike share in China and is poised to once again become the world's biggest. By 2020 it's projected to have 175,000 bikes.

2. Paris
Launched: 2007
Size: 1,751 stations / 23,900 bikes
Price: $38.52 per year / $2.26 per day
Paris's Vélib' is the star of the bike share world. Launched Bastille Day weekend in 2007, it was the most ambitious program of its kind at the time and still remains the world's largest outside of China. Cheap by American standards, you can zip around Paris on a €1.70 day pass—the first half hour of each trip is free. Because Vélib's network blankets the entire city with an average of 50 stations per square mile, it's a favorite of both locals and tourists, to the tune of 110,000 trips a day. This is what we mean by "integral to the life of the city."

3. Wuhan, China
Launched: 2009
Size: 1,318 stations / approx. 90,000 bikes (as of April, 2012)
Price: free
While Europe gets most of the credit for bringing bike sharing into the 21st century, China is the world leader—at least by the numbers. This central Chinese city of 6.4 million has the world's largest bike share scheme by a sight: if official figures are to be believed, it has roughly twice the number of bikes as all of France's shares combined, according to data collected by the Earth Policy Institute. And not only are there more than enough bikes to go around for its residents only bike share—it has the lowest resident-to-bike ratio on our list—it's free.

4. Changwon, South Korea
Launched: 2010
Size: 230 stations / 4,600 bikes
Price: $8 per year / $1 per day
China's not the only Asian country with the bike share bug. This South Korean city rolled out its NUBIJA program—short for Nearby Useful Bike, Interesting Joyful Attraction—as part of an initiative to be one of South Korea's greenest cities. Residents have taken to NUBIJA and the city's color-coded bike lanes in droves, and the system's about to get even more high-tech: Changwon plans to add smartphone chargers to the bikes so riders' pedal strokes can do double duty. NUBIJA is also one step away from free: about $18 for an annual subscription and less than a dollar for a day pass—and the first two hours of riding cost nothing.

5. Lyon, France
Launched: 2005
Size: 345 stations / approx. 4,000 bikes
Price: $33.20 per year / $1.99 per day
Before Paris rolled out its world-famous share in 2007, France's second city, Lyon, set the stage with Vélo'v, the first truly modern system with smart cards, GPS tracking and high-tech kiosks. It followed a price structure introduced by the city of Rennes, which pioneered a smaller, less advanced system in 1998: the first 30 minutes are free for everyone, and subscribers pay reduced rates for half-hour increments thereafter. Lyon's success with this ad-supported system heralded the explosive growth of urban bike sharing and became a model for other European cities. To this day it is also one of the continent's most well-used, best-run systems.

6. Barcelona
Launched: 2007
Size: 420 stations / 6,000 bikes
Price: $61.93 per year
Barcelona's Bicing program vaulted Spain into the bike share business in a big way. This coastal Catalan city's program took off like wildfire on wheels, quadrupling in size in one year and inspiring copycat schemes all over the country. Today, Spain has 132 bike shares, the most in the world. While it's one of the world's most respected and popular shares, Bicing is only open to residents—tourists are strictly prohibited—and it doesn't have short-term subscriptions.

7. Montreal
Launched: 2009
Size: 450 stations / 5,120 bikes
Price: $81.02 per year / $6.87 per day
Montreal's seasonal Bixi network may sound puny next to the big ones in China and Paris, but prior to Citi Bike's debut, it was the largest in North America—and also the first to gain traction. Bixi's modular technology proved to be such a hit that it's now used in Boston, London, Washington, D.C. and, yes, New York. The best share on the continent (okay, among the ones we ranked), Bixi is only held back by not covering more than a small portion of this beautiful, bike-loving city.

8. Tel Aviv
Launched: 2011
Size: 171 stations / approx. 2,000 bikes
Price: $77.27 per year / $4.69 per day
Maybe it's the agreeable Mediterranean weather and urban seaside cool of Tel Aviv that made it the location of the Middle East's first, and largest, major bike share, Tel-O-Fun. According to first-year stats released by Tel-O-Fun's parent company, FSM, this Israeli city's experiment has been successful in two ways: on weekdays commuters use the bikes to beat downtown traffic, and on weekends tourists use them to explore Tel Aviv-Yafo's famous boardwalk—now with bike lanes.

9. Brussels
Launched: 2009
Size: 305 stations / 3,700 bikes
Price: $42.65 per year / $2.13 per day
You'd think the success of a public bike program would be a given in this semi-official capital of the E.U., but the first attempt, called Cyclocity, was a flop because it had too few stations and lacked public input. Enter the online activist. Rebooted as Villo! In 2009, the new share now has a public watchdog, the citizen-run website Where's My Villo?, which tracks data on bike and docking availability, and has successfully pressured the operator, the advertising firm JCDecaux, to continuously improve the system. This hilly city's share understandably sees lower ridership than its French cousins, but Villo! is testing out a solution: extra free time for uphill trips.

10. Warsaw
Launched: 2012
Size: 125 stations / 2,500 bikes
Price: $3.13 initial fee + extra time after 20 minutes
Last year Poland's capital propelled Eastern Europe into the bike sharing big leagues with the introduction of Veturilo. Unlike many other bike shares, there's no tiered membership system, and a one-time fee, equivalent to about $3, grants anyone access to the low-cost system—after sign-up, the first two hours cost just over one U.S. dollar, allowing tourists to explore this historic city on the cheap and locals to use Veturilo bikes for recreation. Compared to other large bike shares, though, Veturilo is not terribly well used, likely due to Warsaw's relative lack of bike culture and its fledgling, but not yet built-up, cycling infrastructure.

11. Washington, D.C. & Northern Virginia
Launched: 2010
Size: 231 stations / 1,850 bikes
Price: $75 per year
Capital Bikeshare in the D.C. metro area wasn't the nation's first successful go at a modern Euro-style system—Denver and Minneapolis beat it to the punch by a few months—but it has been something of a test case for a bike-wary U.S. (D.C.'s earlier share, SmartBike DC, was North America's first failed attempt.) With stations across state lines in Washington proper and Alexandria and Arlington, Virginia, Capital Bikeshare proved that such a system could work here. Users have logged millions of miles, and the network will soon expand into Maryland. What it lacks—typical of the bottom of this list—is citywide-ness, and also the low prices you see in Europe and Asia.

12. Buenos Aires
Launched: 2010
Size: 28 stations / approx. 1,000 bikes
Price: $3.76 per month
Buenos Aires was the first major South American city to try its luck with bike sharing, and has since been joined by Santiago, Chile, and Rio de Janeiro and São Paulo, Brazil. Until recently named Mejor en Bici—or "Better by Bike"—this government program is part of a larger initiative by the same name to build a cycling infrastructure in the Argentine capital. (The government just renamed it Ecobici, no relation to Mexico City's share.) The cool twist here? Although the hours aren't as generous as other programs—8 a.m. to 8 p.m. on weekdays and limited hours on weekends—the program is completely free to residents, and rentals, if you call them that, are for an hour. And it's about to get a major overhaul: the city is expanding Ecobici to 200 stations and making it 24/7 at no extra cost to riders.

Source: USA Today (Oct 2013)

0 Comments

Jakarta - Karawang pp

2/4/2013

0 Comments

 
Picture
Tahun 2012 kami tutup dengan wisata murah meriah, yang bikin kami tidur pulas di malam pergantian tahun. Kami menjajal rute Jatinegara Baru (Stasiun Buaran, Jaktim) - Karawang pp, menyusuri jalan di sepanjang tepian Kalimalang. Total jarak yang ditempuh sekitar 54 km sekali jalan. 

Dalam rombongan ada Tia (adik), Wira (suami Tia), Adi (suami), Kaysan (anak), dan saya. Kami berangkat di hari Minggu pagi, 30 Desember 2012. Lalu bermalam di rumah ortu Wira di Karawang. Kemudian kembali di pagi hari berikutnya, 31 Desember 2012.

Ide menyusuri Kalimalang terbersit begitu saja. Setelah beberapa kali kami berlima menikmati asyiknya bersepeda menyusuri tepian Kanal Banjir Timur (Pondok Kopi-Pantai Marunda, sekitar 45 km pp), terpikir untuk bersepeda menyusuri sungai lainnya.  Apalagi menurut info dari ibunda Wira, jalan inspeksi Kalimalang dalam dalam kondisi baik hingga Karawang. 

Rencana awalnya Kaysan, anak lelaki kami yang berusia 9 tahun akan dibonceng. Tapi kami justru khawatir ia akan terserang kantuk di jalan bila dibonceng. Akhirnya setelah melihat ketetapan hatinya untuk bersepeda sendiri serta kemampuannya bersepeda jarak jauh di tengah lalu lintas normal, maka dengan Bismillah Adi dan saya memberanikan diri untuk memberi Kaysan kesempatan. 

Mempelajari rute 
Tia dan saya mempelajari detail rute yang akan ditempuh sebelum berangkat dari google map, browsing pengalaman orang lain, maupun tanya kenalan. Akhirnya kami putuskan untuk menyusuri sisi rel kereta api dari Jatinegara Baru sampai Stasiun Bekasi. Lalu belok menyusuri tepian Kalimalang menuju Bekasi Timur-Cibitung-Cikarang-Karawang. Rute yang kami lalui bisa dilihat di sini. 

Sejujurnya, Adi dan saya sempat galau berat dengan keputusan mengajak Kaysan. Jalur Kalimalang sudah bisa dipastikan akan jauh lebih ramai dengan kendaraan bermotor dibanding Kanal Banjir Timur. Tapi kami tidak ada bayangan seberapa ramai dan aman rute ini bagi anak-anak. 

Akhirnya untuk memastikan keamanan, 2 hari sebelum perjalanan Tia dan saya survei rute dengan mobil. Tapi kami hanya bisa sampai Cibitung, karena terhadang antrian container yang terjebak macet ketika hendak masuk ke dalam tol Cikampek. Kesimpulan kami, walaupun ramai, rute ini masih bisa ditempuh. 

Ternyata Adi belum bisa percaya hasil survei dengan mobil sepenuhnya. Hingga esoknya ia pergi survei mengendarai sepeda untuk meyakinkan diri. Alhamdulillah, akhirnya keputusan akhirnya rencana tetap dijalankan. Hanya saja penting untuk pergi sepagi mungkin, supaya belum terlalu ramai dan panas.
 Persiapan perlengkapan dan perbekalanH-1 jadi hari yang sibuk. Kami masih belanja perlengkapan dan perbekalan. Sebuah pannier milik saya dirasa tidak cukup mengangkut segala berbekalan dan baju ganti. Wira akhirnya cari pannier baru untuk sepedanya lewat telpon. 

Kami juga pergi ke Felizon, sebuah toko sepeda dan perlengkapannya di STC karena saya perlu cari helm (biasanya pinjam punya Tia). Ujung-ujungnya kami semua jadi tergoda beli celana sepeda berpadding. Keputusan yang tepat, karena kalau tidak bisa-bisa bokong kami kapalan sesudahnya. Kaysan juga dapat sebuah botol dan tempat minum untuk sepedanya.

Untuk perbekalan, kami beli pisang, beng beng, quacker oats cookies, fit bar, roti sobek, pocari sweat. Di samping pastinya nanti bawa air putih. Sampai di rumah sudah lumayan larut, kami pun masih harus cek angin semua sepeda, siapkan ban cadangan, pompa, dan kunci sepeda, bersiap untuk keadaan darurat. Alhasil rencana tidur lebih awal, cuma tinggal rencana.
 Etape 1: Jatinegara Baru - Bekasi Timur (14 km)Kami tidak sarapan terlalu banyak sebelum berangkat. Sekalipun teorinya mau berangkat pk. 5:30 WIB, kami akhirnya baru jalan pk. 6:00 (km 0), setelah berdoa dan berfoto bersama. 

Perjalanan relatif nyaman di pagi hari, udara masih sejuk. Lalu lintas sepanjang Jl. I Gusti Ngurah Rai (Stasiun Buaran) hingga Stasiun Bekasi juga masih sepi dari kendaraan bermotor. Banyak pesepeda lain melintas di jalan, baik yang menuju Bekasi ataupun Jakarta. Tapi memang hanya kami yang  sepedanya penuh gembolan. 

Selepas Stasiun Bekasi, kami masih lurus melewati Jembatan Kali Bekasi, Pasar Bekasi dan berbelok kanan memasuki Jl. R.A.Kartini menuju Kalimalang. Sekitar pk. 7 kami sampai di Jl. Chairil Anwar (km 11) dan mulai menyusuri Kalimalang. Tak lama kemudian kami bertemu pom bensin pertama (km 14), dimana kami berhenti untuk istirahat, toilet stop, minum, dan tambah asupan. 
 Etape 2: Bekasi Timur - Cibitung (14 km)Setelah 10 menit istirahat, kami pun mulai melanjutkan perjalanan Etape 2. Lalu lintas di etape ini relatif lebih padat. Kami harus berhati-hati agar tetap di pinggir. Beberapa angkutan elf, bis mikro, bahkan sesekali ada bis besar melintas. Jalanan pun tidak sepenuhnya mulus. Kondisi hampir sama sampai jalan akses tol Cibitung (km 21, tempat kami terhenti saat survei dengan mobil).

Setelah menyeberangi jalan akses tol, kami melewati Pool Bis Sinar Jaya Cibitung. Lalu lintas relatif lebih sepi setelahnya. Adi yang di paling belakang memperhatikan Kaysan mulai kelelahan. Matahari memang mulai naik. Panasnya terasa menyengat, apalagi kami bersepeda menuju arah timur.

Sebenarnya tidak ada tempat yang cukup nyaman untuk berhenti, tapi kami putuskan untuk tetap menepi di sekitar km 24. Kami berlindung di balik container yang sedang parkir, memberi kesempatan Kaysan istirahat sejenak, minum dan makan untuk tambah tenaga. Sejak awal kami memang sepakat untuk mengikuti tempo bersepeda Kaysan.

Tia dan Wira yang sudah lebih di depan ternyata cepat menyadari kami berhenti dan segera menunggu. Setelah berhenti sekitar 10 menit, kami pun melanjutkan perjalanan. Jam di tangan saya menunjukkan pk. 8.  

Baru sekitar 4 km kembali mengayuh, kami melihat tempat yang cukup nyaman untuk istirahat. Ada bangku panjang dan warung didekatnya. Kami berhenti sekitar 30 menit di tempat tsb, buka perbekalan dan sempat beli teh botol. Terhitung kami sudah menempuh 1/2 perjalanan ketika mencapai tempat istirahat ketiga tsb.  
 Etape 3: Cibitung - Cikarang (11 km)Sekitar pk. 9 kami mulai perjalanan etape ketiga. Kami mencium bau tajam bahan kimia ketika menyusuri kawasan industri Cibitung. Sebelum sampai persimpangan jalan akses tol Cikarang, kami melewati lagi sebuah jembatan besar, Jembatan Cibening. Di bawahnya mengalir Sungai Cikarang.   

Selepas jalan akses tol Cikarang, kami melewati beberapa pintu masuk Kawasan Industri Jababeka. Kemudian lalu lintas semakin sepi, walaupun kami tetap harus waspada dengan kendaraan yang sesekali melintas dengan kecepatan tinggi. 

Pemandangan pun drastis berubah. Kini kami bisa benar-benar bisa menikmati Kalimalang di sisi kanan jalan beserta alunan arusnya. Kami sempat melihat seorang pengembala menggiring ternaknya di seberang kali. 

Di sisi kiri jalan terhampar sawah khas pedesaan. Gunung Sangga Buana menjulang di hadapan kami. Sungguh memanjakan mata, serasa bersepeda di pinggiran kanal negeri kincir angin. Saya sempat merekam rombongan sambil melaju di sepeda.  Sekitar pk. 9.20 kami kembali istirahat sejenak di km 39 (tepat di balik Rest Area km. 39 Tol Cikampek). 
 Etape 4: Cikarang - Jembatan Cibeet - Karawang Barat (8 km)Tak berapa lama setelah melanjutkan perjalanan, kami memasuki daerah perbatasan Bekasi dan Kawarang. Persoalan klasik daerah perbatasan tampak nyata. Saling lempar tanggung jawab menyebabkan jalan dibiarkan tak terawat. Jembatan Sungai Cibeet yang membatasi kedua daerah tersebut dalam kondisi memprihatikan. Lubang besar menganga di beberapa tempat. 

Kami sempat turun dan berfoto di pintu air Kalimalang tepat setelah Jembatan Cibeet. Terlihat Kalimalang yang seperti mendadak terputus oleh aliran Sungai Cibeet. Kalimalang dialirkan menyeberangi Sungai Cibeet dengan jembatan siphon. Beberapa nelayan tampak menebar jala di dekat pintu air. 

Hari sudah menunjukkan pk. 10 ketika kami meninggalkan Sungai Cibeet. Kami lanjutkan perjalanan dan tak berapa lama sampai ke persimpangan Sangga Buana. Di titik ini, kami harus belok kiri meninggalkan jalan tepian Kalimalang. Beruntung Wira mengenal baik daerah ini. Beberapa kali iringan truk pengangkut pasir dari arah Gunung Sangga Buana mendahului kami.

Hanya sepanjang 2 km kami terpisah dari  Kalimalang. Kemudian jalur yang kami lalui kembali berada di tepian Kalimalang. Sekitar 2 km kemudian, kami sudah berada di bawah flyover jalan akses tol Karawang Barat. Sekali lagi kami istirahat sekitar 10 menit, di pertigaan jalan akses menuju Perumahan Teluk Jambe.
 Etape 5: Karawang Barat - Rumah Wira (7 km)Kami kembali mengayuh sekitar pk. 10:40. Etape ini jadi bagian yang paling bikin frustasi. Barangkali karena secara psikologis kami pikir tujuan akhir sudah dekat dan juga secara fisik sudah lelah. Apalagi saya tidak mempelajari detail etape ini. Kami semua pasrahkan kepada Wira untuk memilih rute yang paling aman menuju rumah orang tuanya.  

Jarak sejauh 7 km terasa tidak ada habisnya. Sebenarnya rumah ortu Wira bisa dengan mudah dicapai melalui terusan jalan akses tol Karawang Barat. Tapi lalu lintas di jalan ini sangat padat, bis-bis besar yang lalu lalang dengan kecepatan tinggi.

Sehingga Wira membawa kami lewat jalan dalam kota yang terasa penuh liku. Beda sekali dengan 40 km perjalanan sebelumnya yang praktis hanya menempuh jalan lurus saja. Demi jalan pintas, kami sempat tertahan di pasar yang becek dengan lalu lintas tersendat.  

Lepas dari semuanya, alhamdulillah akhirnya sampai juga kami di rumah ortu Wira pk 11.30. Total durasi 5 jam 30 menit menempuh jarak 54 km dengan 4 kali istirahat pendek (@10 menit) dan 1 kali istirahat panjang (30 menit). 
 Perjalanan pulang Karawang - JakartaSetelah malamnya ditraktir makan enak oleh ortu Wira, kami tidur nyenyak dan keesokan paginya kembali siap berangkat pk. 6:00. Berhubung hari masih pagi dan bis belum terlalu ramai, kami memilih lewat jalan akses tol Karawang Barat menuju simpang Kalimalang. 

Sungguh pengalaman tak terlupakan menjalani segmen terbaik Kalimalang di pagi hari. Apalagi saat perjalanan pulang, tak ada lagi pembatas antara kami dan Kalimalang. Terlihat aktivitas beberapa warga sekitar yang tengah memanfaatkan Kalimalang sebagai MCK. Selain itu ada juga sekelompok lelaki yang mencari ikan dengan berpelampung ban dalam. 

Selama perjalanan pulang kami hanya berhenti 2 kali untuk istirahat sejenak. Sekitar pk 10:30 kami sudah tiba di Stasiun Cakung. Kami putuskan untuk makan siang dulu di sebuah warung bakso, supaya sampai rumah bisa langsung leyeh-leyeh. Alhamdulillah sekitar pk. 11:30 WIB kami sudah kembali tiba di Jatinegara Baru. 
Ringkasan rute  - Total 53,7 km
  • Jatinegara Baru Jaktim - Jl. Chairil Anwar (Bekasi Timur) = 11,8 km
  • Bekasi Timur - Cibitung = 9,4 km
  • Cibitung - Cikarang = 7,5 km
  • Cikarang - Sungai Cibeet = 11,2 km
  • Sungai Cibeet - Jl. Akses Tol Karawang Barat = 6,3 km
  • Jl. Akses Tol karawang Barat - Rumah Wira = 7,5 km
Istirahat perjalanan pergi di km 14, 24, 28, 39, dan 47.

Sumber: Blog Jejak Kay
0 Comments

Semarang Segera Memanjakan Sepeda Gowes

15/2/2013

0 Comments

 
Picture
TEMPO.CO, Semarang - Pengguna sepeda kayuh di Kota Semarang akan mendapat perlindungan dalam peraturan daerah tentang lalu lintas. Aturan ini dirancang khusus untuk mengatur pengguna jalan di sejumlah ruas strategis. Rancangan yang hendak diajukan ke dewan perwakilan rayat daerah ini berisi tentang aturan khusus lalu lintas kendaraan bermotor hingga larangan pemanfaatan jalur lambat. “Ini termasuk mengatur tentang konsep jalur sepeda yang selama ini banyak digunakan untuk parkir,” ujar Sekretaris Dinas Perhubungan Kota Semarang, Agus Harmunanto, Ahad, 10 Februari 2013.

Rancangan peraturan daerah mengenai itu mengacu pada undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas. Ia menyatakan materi peraturan daerah yang sedang digarap berisi sistem penggunaan jalan raya oleh semua jenis moda tranportasi kendaraan bermotor hingga kendaraan tak bermotor dan pejalan kaki. “Ada batasan dan aturan khsusus mengenai penguna jalan di sejumlah titik yang ditentukan,” kata Agus. Perlindungan terhadap penguna sepeda kayuh itu dilakukan dengan memberi sanksi bagi pengguna jalan yang melanggar aturan tantang pengguna sepeda kayuh.

Agus menyatakan aturan itu akan berlaku seiring dengan kebijakan pemerintah Kota Semarang yang telah memberikan fasilitas jalur sepeda di sejumlah jalan protokol, di antaranya jalan Pandanaran, Jalan Pahlawan, Jalan Dr Cipto, dan Jalan Pemuda.

Di sejumlah ruas jalan itu, menurut Agus, saat ini belum efektif melindungi penguna sepeda kayuh karena banyak digunakan untuk parkir mobil. “Contohnya di Jalan Pandanaran yang justru jalur sepeda digunakan untuk kendraan roda empat,” katanya.

Selain memberikan sanksi, Agus mengaku peraturan daerah itu akan memberikan solusi mengenai persoalan lalu lintas di dalam Kota Semarang. Solusi yang hendak ditawarkan tersebut masih dalam proses kajian yang belum bisa disimpulkan.

Pakar Transportasi Universitas Katolik Sugijopranata, Djoko Setijowarno, menilai peraturan daerah yang melindungi pengguna sepeda kayuh di Kota Semarang merupakan kebijakan positif.

Djoko berharap perda itu mampu mengurai persoalan penataan jalan di jantung Kota Semarang yang selama ini tidak pernah ada habisnya. “Semoga bisa menjadi solusi bagi berbagai persoalan jalan raya yang terus bermunculan,” ujar Djoko.

Ia menilai selama ini lalu lintas Kota Semarang telah memarginalkan para pengguna sepeda yang hendak menikmati keindahan Kota Semarang. Bahkan, ia mengatakan ada sejumlah kelompok yang telah meraih keuntungan dari ruas jalur sepeda yang telah disediakan pemerintah.

EDI FAISOL
Sumber: www.tempo.co

0 Comments

    Serba-serbi Sepeda

    Kisah seputar sepeda, seperti fasilitas sepeda, keselamatan bersepeda, sejarah sepeda, dsb, bisa ditemui di sini.

    Arsip

    September 2014
    March 2014
    February 2014
    November 2013
    October 2013
    April 2013
    February 2013

    Kategori

    All
    Wisata Sepeda

    RSS Feed

Powered by Create your own unique website with customizable templates.