
Perjalanan sehari penuh kami nikmati dengan santai, tanpa tergesa-gesa, atau selow dalam bahasa walikan yang asal katanya slow. Catatan perjalanan bersepeda sejauh 20 km tersebut, lengkap dengan segala detailnya kami tuliskan di sini, untuk mengajak Anda ikut menikmati kota dengan cara yang berbeda.
Sebelum meninggalkan ibukota, kami sudah melakukan booking online sepeda sewaan lewat situs siwoles.weebly.com. Uniknya, seluruh sepeda sewaan milik Si Woles dilengkapi nama beserta deskripsinya. Sehingga penyewa bisa langsung memilih sepeda yang disukai saat booking. Berhubung awam dengan lika-liku jalan di Yogya dan akan bersepeda bersama anak yang insyaAllah baru akan genap 9 tahun bulan depan, kami sekaligus minta ditemani pemandu dari Si Woles.

Jam tangan masih menunjukkan pukul 05:30 WIB, namun hari sudah terang. Saya beserta anak dan seorang pemandu bersiap memulai perjalanan. Saya mengendarai si Cempe, anak kami, Kaysan, memilih si Ruci, sedangkan sang pemandu yang juga sahabat baik kami, sudah siap di atas si Momo. Seorang teman dengan sepedanya sendiri turut bergabung pagi itu untuk sarapan. Standar sewa sepeda di Si Woles sudah termasuk helm dan kunci. Bahkan bagi penyewa dengan anak balita, juga tersedia persewaan boncengan anak.
Perjalanan di hari Senin pagi, 29 Oktober 2012, di mulai dari tempat kami menginap di daerah Karangjati, Jl. Monjali (sedikit melewati perbatasan Kota Yogya dan Kabupaten Sleman). Rencananya kami akan bersepeda ke arah selatan melewati Stasiun Tugu menuju Malioboro untuk sarapan di Pasar Beringharjo.

Jarak sekitar 5 km hingga Benteng Vredeburg kami tempuh tanpa terlalu berpeluh karena medan yang terus menurun. Setelah sepeda kami kunci di area parkir benteng, saya pikir kami akan langsung menuju Pasar Beringharjo. Tapi ternyata pemandu mengajak kami untuk duduk-duduk dulu di salah satu bangku di kawasan pedestrian depan benteng.
Sembari duduk-duduk di pedestrian, kami mengamati dan menikmati kesibukan kota di pagi hari. Mulai dari TransJogja yang melintas kosong, anak sekolah yang mengendarai sepedanya, petugas kebersihan yang menyapu jalan, hingga sampah apa saja yang dihasilkan warga kota ini.

Usut punya usut ternyata inilah ciri khas dari berwisata ala si Woles, yang berbunyi Selow kalau dibaca terbalik. Di balik usaha sewa sepeda, ternyata Si Woles ingin mengajak para pelancong yang acapkali tergesa-gesa, terjebak ritme kejar setoran layaknya kerja, untuk menurunkan tempo. Pelancong diajak kembali menikmati perjalanan dengan cara santai atau pelan-pelan, sembari membangun kontak dengan tempat yang tengah dikunjungi.

Kami pun mulai dengan minum es campur, yang lebih mirip dengan es cincau hijau bersirup merah yang biasa dijajakan di jalanan Jakarta, tapi yang ini ditambah campuran kelapa muda. Tak berapa lama soto pun dihidangkan. Entah kenapa nasi soto dan es campur terasa nikmat sekali di pagi itu. Hingga beberapa kali Kaysan berkomentar, “Bu, ini sotonya enak banget!” Kami pun tak perlu merogoh kocek terlalu dalam, cukup Rp 10 ribu untuk semangkuk nasi soto dan segelas es campur.
Setelah perut kenyang, kami kembali bersepeda menuju Karangjati melewati rute yang sama. Hanya saja sepanjang perjalanan pulang, kami harus konsisten menggowes karena kali ini jalan terus menanjak. Lalu lintas juga mulai lebih ramai dibanding ketika berangkat. Sekitar pukul 08:30 WIB kami sampai di Karangjati.
Rehat dan baring-baring sekitar 30 menit sudah cukup untuk mengembalikan tenaga. Kami putuskan untuk segera menuju tujuan berikutnya, yaitu Taman Bacaan Anak Bledug Merapi. Sengaja kami singgah, karena penasaran ingin melihat langsung dan belajar taman bacaan yang sukses mengelola mahasiswa sebagai relawannya.
Lokasi Bledug Merapi sekitar 2 km ke arah utara dari tempat menginap kami di Karangjati. Kami tiba sekitar pukul 09:15 WIB, disambut Mas Dwiki, relawan yang tengah bertugas menjaga taman bacaan. Bledug Merapi buka setiap hari mulai pukul 09:00 -17:00 WIB. Kaysan langsung memilih buku dan menemukan posisi wenak di depan jendela.
Hutan Mini UGM
Selepas dari Bledug Merapi kami lanjut bersepeda ke arah UGM sekitar 2,7 km. Baru kali ini saya sadar kalau kawasan UGM berada di Kabupaten Sleman, bukan Kota Yogyakarta. Ketika kami mencapai bundaran Pasca UGM (Jl. Kesehatan), mulai terdengar ramai suara burung. Jalanan juga tampak tertutup selubung putih, tumpukan kotoran burung.
Kami putuskan untuk masuk ke dalam kampus UGM, mencari sumber bunyi tersebut. Ternyata di balik Jl. Kesehatan tersembunyi hutan mini (arboretum) Fakultas Biologi UGM seluas 0,5 ha. Hutan ini bukan satu-satunya di UGM, masih ada satu lagi hutan mini seluas 0,9 ha milik Fakultas Kehutanan. Keduanya merupakan surga bagi burung-burung urban.
Rujak es krim
Tak terasa matahari sudah tepat di atas kepala, kami memutuskan untuk istirahat sejenak. Adzan terdengar berkumandang. Untuk melepas lelah, kami memilih kios rujak es krim pinggir jalan di Jl. Bougenville (depan Fakultas Kedokteran Hewan UGM) yang jaraknya sekitar 1,3 km dari hutan mini. Baru kali ini kami mencicipi potongan buah yang dirajah kecil-kecil, diberi bumbu rujak,dan dipadu dengan es puter.
Awalnya karena belum yakin akan rasanya, maka saya dan Kaysan sepakat hanya memesan satu mangkok untuk berdua. Wah ternyata luar biasa maknyusssss. Cocok sekali dimakan di tengah udara panas. Kaysan menikmati hingga tetes penghabisan, diangkat mangkoknya, untuk diseruput. Saya yang sama sekali tidak dapat kesempatan mencicipi, terpaksa pesan satu mangkok lagi.
Di kios rujak ini kami sempat janjian bertemu Rani, teman yang dulu sempat di Jakarta, tapi kini lebih memilih tinggal di Yogya. Rani pesan lotis dan ketika datang ternyata inilah rujak yang selama ini saya kenal. Potongan aneka buah lebar-lebar dengan bumbu rujak yang dimakan dengan dicolek. Semangkok rujak es krim atau pun lotis dibandrol dengan harga Rp 5 ribu saja.
Sewaktu masuk kampus UGM menuju hutan mini, hal pertama yang menarik perhatian kami adalah pos peminjaman sepeda. Di situ berjajar lebih dari 10 buah sepeda berwarna biru, lengkap dengan keranjang. Kami melewati beberapa pos peminjaman sepeda lainnya saat menyusuri lembah sepanjang Jl. Olahraga, melewati University Club, hingga pintu utama Kampus UGM.
Jalan-jalan di dalam kampus juga dilengkapi jalur khusus sepeda yang dibatasi garis putus-putus. Beberapa mahasiswa tampak memanfaatkan sepeda sewaan. Ada juga mahasiswa yang naik sepedanya sendiri. Senang sekali bisa merasakan nyamannya bersepeda di dalam Kampus UGM. Dengan fasilitas bersepeda sebaik itu, agak heran juga melihat masih banyak yang naik motor di dalam kampus.
Perpustakaan Kota
Keluar dari Kampus UGM, kami melanjutkan perjalanan menuju Perpustakaan Kota yang terletak di kawasan Kota Baru. Kami menyusuri Jl. Cik Di Tiro, melewati RS Panti Rapih dan RS Mata Dr. Yap. Pemandu kami sempat berhenti sebentar di seberang bangunan tinggalan kolonial yang tampak megah terawat. Ternyata gedung tersebut adalah gedung RS Mata Dr. Yap, yang dibangun oleh seorang dokter mata filantrop di masa pra kemerdekaan yang bernama lengkap Yap Hong Tjoen. Menurut pemandu kami, di dalam RS tersebut terdapat Museum Dr. Yap, sayang kami belum bisa mampir kali ini.
Sepanjang Jl. Cik Di Tiro sebenarnya masih tersedia jalur khusus sepeda, hanya sayangnya tertutup oleh barisan mobil yang parkir paralel di tepi jalan, terutama di daerah RS Panti Rapih. Kami masih lanjut bersepeda menyeberangi perempatan Jl. Sudirman, menuju Jl. Suroto. Setelah menempuh jarak sekitar 2,7 km dari kios rujak, kami sampai di Perpustakaan Kota Yogyakarta yang berada di pojok jalan antara Jl. Suroto dan Jl. Sabirin.

Setelah menitipkan tas dan helm sepeda, pandangan kami tertahan pada dispenser dan gelas yang disediakan gratis untuk pengunjung. Luar biasa ada fasilitas air minum di ruang publik. Wah langsung kami mengisi penuh botol minum kami yang sudah menipis. Sungguh ini sebuah insentif bagi pengunjung yang rajin bawa botol minum sendiri.
Kali ini kami langsung ke lantai 2 menuju ruang baca anak. Kombinasi karpet dan sofa empuk begitu menggoda kami untuk baca sambil tidur-tiduran. Kaysan langsung asyik memilih bacaan dan pemandu kami sibuk berinternet di sudut ruang. Sementara saya tidur-tiduran baca majalah sampai tertidur sungguhan menunggu Kaysan yang tidak mau beranjak dari perpustakaan.
Berhubung hari makin siang dan kami belum makan siang, dengan berat hati kami harus bergerak. Sebelum pergi, kami sempat menggunakan toilet perpustakaan yang luar biasa bersih. Sungguh salut untuk Pemkot Yogya dengan Perpustakaan Kota-nya yang benar-benar bermanfaat bagi warga.
Perjalanan kami menjelajahi Yogya ditutup dengan makan siang di House of Raminten yang masih berada di kawasan Kota Baru. Lokasinya hanya sekitar 500 m dari Perpustakaan Kota.
Sewaktu menjelajahi kawasan Kota Baru, nuansa tata kota dan arsitekturnya sangat terasa berkonsep sama dengan kawasan Menteng di Jakarta ataupun Dago di Bandung.
Ternyata pemilik House of Raminten di Jl. FM Noto No. 7 yang kami kunjungi tersebut sama dengan pemilik Toko Mirota, toko batik dan oleh-oleh Yogya dengan harga pas yang terkenal di ujung selatan Jl. Malioboro. Memasuki bangunan kayu berwarna gelap House of Raminten terasa sekali atmosfer jawa yang kental. Juga kenyentrikan serta rasa humor yang tinggi dari pemiliknya.
Harga makanan dan minuman terasa bersahabat dengan kantong. Cukup siapkan 20 ribu rupiah per orang untuk sepiring nasi dengan ayam serta minuman dingin. Untuk rasa tidak terlalu spesial. Tapi Kaysan yang memesan ayam koteka sampai bertanya, “Ibu bisa masaknya nggak di rumah?”. Menu yang satu ini, campuran daging ayam cincang dengan telur berbumbu mirip pepesan yang dibakar dalam bambu, saya rekomendasikan untuk Anda coba.
Waktu sudah menunjukkan pukul 16:00 WIB ketika kami rampung makan siang. Kami pun meninggalkan kawasan Kota Baru menempuh jarak sekitar 3 km kembali ke Karangjati untuk bersiap pulang ke Jakarta. Lalu lintas sore hari cukup padat, barangkali karena bertepatan dengan waktu pulang kantor.
Luar biasa lega rasanya saat menginjakan kaki kembali di Karangjati. Terus terang selama perjalanan hati saya ketar-ketir karena membawa anak. Ini pengalaman pertama saya bersepeda di Yogya. Saya sama sekali tidak punya bayangan seberapa sabar pengendara kendaraan bermotor di Kota Yogya.
Tapi alhamdulillah selama di perjalanan bisa dibilang saya tidak mendengar klakson tak sabar dari pengendara mobil atau motor. Mereka cukup sabar menunggu kami berbelok di persimpangan. Bahkan di persimpangan besar saya perhatikan tersedia ruang tunggu sepeda yang berwarna hijau. Pengendara mobil dan motor cukup disiplin untuk tidak masuk ke ruang tersebut.
"Luar biasa menyenangkan dan sama sekali tidak melelahkan," ujar Kaysan, ketika saya tanyakan pendapatnya di akhir perjalanan. Padahal kalau dijumlahkan, jarak yang kami tempuh di hari tersebut mencapai 20 km.
Rendahnya jumlah pesepeda di Kota Yogya
Agak kaget juga saya selama perjalanan menjumpai jumlah pesepeda di Yogya tidak sebanyak dugaan. Padahal jarak terjauh dari ring road utara ke selatan saja tak lebih dari 10 km. Tampaknya warga Yogya sudah kecanduan naik motor. “Bisa dikatakan hampir setiap rumah tangga di Yogya punya sepeda motor”, ungkap pemandu kami. Wah sayang sekali, padahal fasilitas bagi pesepeda sudah begitu jauh lebih memadai dibanding Jakarta.
Semoga dikunjungan berikutnya saya bisa bertemu lebih banyak pesepeda di jalan-jalan Kota Yogya. Mengintip di situs resmi BPS Kota Yogyakarta tercatat di tahun 2009/2010 ada sekitar 50 ribu mahasiswa di Kota Yogya (di luar UGM yang masuk Kab. Sleman). Bila setengahnya bersepeda, berarti akan ada 25 ribu pesepeda di Kota Yogya.
Penutup
Menulis catatan perjalanan kali ini berikut segala detailnya terasa begitu mengalir dan mudah. Masih terekam jelas dalam ingatan apa yang kami alami, walaupun saya tidak mencatat secara khusus. Tentunya karena kami menjalaninya tanpa tergesa-gesa atau selow. Meresapinya sebagai sebuah proses mengalami kota. Bukan sekedar mengejar obyek wisata untuk berfoto.
Rute jelajah yang ditawarkan Si Woles dapat disesuaikan dengan minat pelancong dan juga bisa dilakukan lebih dari satu hari. Ketika kami memesan sepeda, sempat ditawarkan pilihan untuk membelah Kota Yogya dari utara ke selatan, melewati Tugu, Malioboro, keraton sampai daerah Krapyak di selatan Kota Yogya. Atau bisa juga menyusuri Selokan Mataram melewati sawah-sawah ke arah barat atau timur. Bahkan bila ke timur bisa sampai komplek Candi Prambanan dan sekitarnya. Hanya saja karena mengukur kemampuan anak, kami memilih rute yang tidak terlalu jauh dan berat.
Situs Si Woles juga memuat catatan tempat-tempat yang menarik untuk dikunjungi. Anda bisa memanfaatkannya untuk merencanakan rute sendiri dan bersepeda tanpa perlu bantuan pemandu. Bila Anda tersesat, tidak perlu khawatir karena itu akan menjadi bagian dari proses menikmati perjalanan itu sendiri, asalkan Anda tidak tergesa-gesa.
Ditulis oleh: Shanty Syahril, ibu seorang anak, tinggal di Jakarta.
Catatan:
Jarak tempuh (sumber: google map)
Karangjati (Jl. Monjali) - Benteng Vredeburg 5 km (pp 10 km)
Karangjati - Bledug Mrapi Nandan 2 km
Bledug Mrapi Nandan - Hutan Mini UGM 2,7 km
Hutan Mini UGM - Rujak Es Krim Jl. Bougenville 1,3 km
Rujak Es Krim - Perpustakaan Kota 2,7 km
Perpustakaan Kota - House of Raminten 0,5 km
House of Raminten - Karangjati 3 km
Makan
Alokasi sekitar Rp 50 ribu/orang sudah lebih dari cukup untuk makan minum selama perjalanan satu hari.
Sewa sepeda
Selama masa promosi hingga 31 Desember 2012, sewa sepeda dari Si Woles seharga 25 ribu/24 jam. Untuk jasa pemandu sebesar 100 ribu/hari/ orang (10 jam), sudah termasuk biaya sewa sepeda. Untuk kelompok dengan jumlah peserta maksimal 5 orang, biaya pemandu Rp 250 ribu (belum termasuk biaya sewa sepeda).